Jangan Asal Berbicara Dalam Agama

 
 
Oleh : Andika Al Maidany

Allah berfirman kepada Nabi-Nya:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertangungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)

Allah berfirman tentang Nabi Nuh ketika dia meminta agar anaknya diselamatkan:

“Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan temasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Hud: 46)

Allah berfirman ketika mencela ahli kitab:
“Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui. Maka mengapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Ali-Imran: 66)

Dalam ayat pertama, Allah memberikan pengarahan kepada Nabi-Nya dengan etika yang sangat agung. Yaitu, tidak bole mengatakan sesuatu tanpa ilmu dan tidak memperdalamnya (tanpa ilmu). Dalam ayat kedua, Allah melarang Nabi Nuh meminta sesuatu yang tidak ia ketahui. Dalam ayat ketiga, Allah mengingkari ahli kitab yang berargumentasi pada sesuatu yang tidak mereka ketahui. Hal itu dianggap sebagai kebodohan mereka. Kewajiban bagi orang yang tidak mengetahui adalah menahan diri untuk tidak berbicara mengenai hal itu secara dalam. Hendaklah ia tahu bahwa sikap seperti itu temasuk kebaikan dan bukan aib.


Para ulama salaf hingga sekarang menetapkan bahaya berbicara tanpa ilmu. Berikut beberapa perkataan mereka:


Ibnu Jamaah berkata, “Jika dia mengatakan tentang apa yang tidak ia ketahui, maka ia berkata, ‘Aku tidak tahu.’ Sebagian mereka berkata, “Aku tidak tahu adalah setengah dari ilmu.”


Ibnu Abbas berkata, “Jika seorang alim salah (dengan tidak menagtakan) ‘tidak tahu,’ maka ia telah tertimpa bencana.”


Hendaknya seorang alim mewariskan  “tidak tahu” kepada murid-muridnya, karena banyaknya apa yang ia ucapkan.


Jawaban orang yang ditanya “tidak tahu” sama sekali tidak merendahkan kedudukannya. Tidak seperti diperkirakan oleh sebagian orang bodoh. Bahkan hal itu mengangkat derajatnya. Karena itu, adalah bukti akan keagungan kedudukannya, kekuatan agamanya, ketakwaan kepada Rabb-nya, kesucian hatinya, kesempurnaan pengetahuannya dan keteguhannya yang baik.


Diriwayatkan dari kaum salaf, orang yang enggan mengatakan “tidak tahu” hanyalah orang yang lemah agamanya dan sedikit wawasannya. Karena dia takut jika harga dirinya jatuh dihadapan orang yang hadir. Ini adalah kebodohan dan ketipisan agama.


Bahkan kesalahannya itu tersebar di tengah masyarakat. Maka ia pun tejatuh ke dalam jurang yang sebelumnya ia jauhi. Ia akan mendapatkan label buruk yang selalu ia hindari.


Allah telah memberikan arahan kepada para ulama melalui kisah Nabi Musa bersama Nabi Khidir, ketika Nabi Musa tidak mengembalikan ilmu kepada Allah ketika ia di tanya: “Apakah di bumi ini ada seseorang yang lebih alim dari anda?”


Syaikh as-sa’di berkata, “Di antara kewajiban paling besar pada para guru adalah mengatakan: ‘Allah lebih mengetahui terhadap apa-apa yang tidak ia ketahui.’ Ini sama sekali tidak mengurangi derajat kedudukan mereka, bahkan mengangkat derajat mereka. Ia juga merupakan dalil akan kesempurnaan agama dan usaha mereka untuk mencari kebenaran.


Ada banyak pelajaran dalam sikap diam tehadap sesuatu yang tidak diketahui:


*
Inilah kewajiban yang harus dilakukan
* Jika dia tidak berkomentar dan mengatakan “Hanya Allah yang lebih tahu,” maka secepat mungkin ia akan mendapatkan ilmu tesebut dengan menelaah atau penelitian yang dilakukan oleh orang lain. Karena ketika seorang murid melihat gurunya tidak menjawab, maka ia akan berusaha keras untuk menghadiahkan hal itu pada sang guru. Sungguh indah!
* Jika ia diam tehadap apa-apa yang tida diketahui maka hal itu merupakan dalil bahwa ia tepercaya dan keteguhannya tehadap masalah-masalah yang ia yakini. Orang yang dikenal berani berbicara tehadap apa-apa yang tidak diketahui, maka hal itu factor yang menyebabkan keraguan terhadap apa yang ia katakana. Walaupun dalam masalah yang sudah jelas.
* Ketika para pelajar melihat seorang guru diam tehadap apa yang tidak ia ketahui maka hal itu merupakan pengajaran dan arahan akan jalan baik ini. Mengambil teladan dengan ucapan dan amalan lebih utama daripada berteladan hanya dengan ucapan.

Ibnu Abbas berkata; “Jika seorang alim meninggalkan (kalimat) “tidak tahu” maka ia telah tetimpa bencana.”


Ibnu Umar berkata: “Ilmu itu ada tiga: kitab yang berbicara, sunnah yang telah lalu, dan tidak tahu.”


Ali bin Abi Thalib berkata: “Di antara keilmuan seseorang bahwa ia mengatakan “Hanya Allah yang Maha Tahu” tehadap apa yang tidak ia ketahui. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:


“Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku temasuk orang-orang yang mengada-adakan.”
(QS. Shad:86)

Imam Ahmad berkata, “Tidak segala hal harus dibicarakan.”


Ali bin Abi Thalib berkata: “Ada lima hal, seandainya seseorang melakukan dengannya ke Yaman, niscaya semua itu menjadi pengganti atas perjalanannya:


1.
Tidak takutnya seorang hamba kecuali kepada Rabb-nya

2.
Tidak merasakan bahaya kecuali atas dosanya

3.
Orang yang tidak merasa malu mengatakan “Hanya Allah yang mengetahui”, ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui

4.
Orang yang tak tahu tidak merasa malu belajar

5.
Kedudukan sabar dalam agama bagaikan kepala bagi jasad. Jika kepala terputus maka badan pun hancur

Al-Qasim dan Ibnu Sirin berkata, “Seseorang yang mati dalam keadaan bodoh itu lebih baik daripada mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.”


Abu Hamid Al-Ghazali berkata, “Seandainya dia diam tehadap apa yang tidak ia ketahui, niscaya akan sedikit perbedaan pendapat. Barangsiapa pendek kemampuannya dan sempit pandangannya dari berbagai perkataan para ulama ummat dan penelaahannya, maka ia tidak berhak sama sekali untuk berkata dalam hal yang tidak ia ketahui dan berkecimpung dalam hal yang tidak bermanfaat baginya. Orang yang seperti ini mestinya diam.”


Imam Malik berkata, “Semestinya seseorang itu tidak berbicara kecuali dalam hal yang ia pahami.”


Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia di Tanya oleh seorang badui, “apakah seorang bibi mendapatkan waris?”


Ibnu Umar menjawab, “Tidak tahu.”


Badui itu bertanya kembali, “Kamu tidak tahu?!”


Ibnu Umar menjawab, “Ya, pergilah kepada para ulama dan tanyakanlah pada mereka.”


Seorang lelaki bertanya kepada Amr bin Dinar tentang satu masalah, lalu ia tidak menjawabnya. Orang itu berkata, “Sesungguhnya dalam diri saya ada sedikit jawaban tentangnya.”


Lalu Amr bin Dinar berkata, “Jika dalam dirimu ada jawaban bagaikan gunung Abu Qubais, maka hal itu lebih aku sukai daripada yang ada dalam diriku hanya bagaikan seuntai rambut.”


Ibnu Mahdi berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang sesuatu. Dia terus-menerus datang dan mendesaknya. Lalu Imam Malik berkata, “Masya Allah, aku tidak menjawab kecuali dalam hal yang menurutku ada kebaikan di dalamnya. Sekarang ini, aku sama sekali tidak memahami dengan benar masalahmu.”


Muhammad bin Abdil Hakam berkata, “Aku bertanya kepada Imam Asy-Syafi’I tentang masalah nikah mut’ah: “Apakah di dalamnya ada talak, pewarisan, atau nafkah yang wajib atau persaksian?” Lalu ia menjawab, “Demi Allah aku tidak tahu.”


Ketika Imam Adz-Dzahabi berbicara tentang umur Salman Al Farisi, ia berkata: “Hematku ia tidak mencapai umur seratus tahun. Barangsiapa mengetahuinya maka kabarkanlah kepada kami. Abu al-faraj ibnul jauzi dan yang lainnya telah meriwayatkan tentang panjang usianya. Aku tidak mengetahui sedikitpun yang mengarak ke sana. Aku telah menuturkan dalam kitabku Tarikh al-kabir bahwa ia hidup selama 250 tahun! Sekarang ini aku tidak berpendapat demikian dan tidak menshahihkannya.”


Abu Ishaq berkata, “Telah sampai kepadak (sebuah berita) sesungguhnya seorang lelaki datang kepada Amr dan berkata, “wajib kepadaku memerdekakan di antara anak-anak Ismail.”


Lalu ia berkata, “aku tidak mengajarkannya kecuali kepada Hasan dan Husain.” Adz-Dzahabi berkata, “Aku tidak memahaminya.”


Ibnu Uyainah berkata, “Dahulu Abu al husain jika ditanya tentang satu masalah maka ia berkata, “Aku tidak memiliki ilmu tentang itu. Hanya Allah Yang Maha Tahu.”


Ibnu Katsir menuturkan sebuah atsar dari Ali bin Abi Thalib dalam menafsirkan firman Allah:


“Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu.”
(QS. An-Nisa:23)

Ibnu Katsir berkata, “Guruku al-hafiz Abu Abdillah Adz-Dzahabi berkata, “Sesungguhnya masalah ini ditanyakan kepada Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah. Lalu ia merasa kesulitan dan tidak menjawabnya. Hanya Allah jualah Yang Maha Tahu.”


Al-Qasim bin Muhammad berkata, “Aku pernah belajar kepada al-Bahr Ibnu Abbas. Aku pernah belajar bersama Abu Hurairah dan Ibnu Umar. Lalu banyak (menimba ilmu darinya). Di sana ada (pada diri Ibnu Umar) kewara’an, ilmu yang banyak dan sikap diam atas segala hal yang tidak diketahui.”


Temasuk di dalamnya adalah pengakuan Imam Adz-Dzahabi bahwa ia tidak mengetahui (Lihat: Siyar A’lam an-Nubala XIII/41 dengan catatan kakainya, XIII/158).


Yang semisal dengannya adalah yang diungkapkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam mukaddimah kitabnya Hajjat al-Wada’, hal. 13 dan 28.

Wallahu a'lam.

[Bimbingan Menuntut Ilmu, tulisan Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan, tebitan pustaka At-Tazkia, Jakarta: Jumadil Ula 1427 H/Juni 2006 M].

Sumber : 
http://syabaabussunnah.wordpress.com/2008/04/07/jangan-asal-berbicara-dalam-agama/
READ MORE - Jangan Asal Berbicara Dalam Agama

Perbedaan Adalah Rahmat ?

Pertanyaan : Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa perbedaan adalah rahmat?

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu
menjawab :

Perbedaan (ikhtilaf) ada tiga macam:


1. Ikhtilaf al-afham (perbedaan pemahaman)

Para shababat pernah mengalami perbedaan yang seperti ini. Bahkan ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu tetap makan (sahur) hingga jelas baginya perbedaan antara benang yang putih dengan benang yang hitam. Dia menaruh di bawah bantalnya, benang putih dan benang hitam, dan tetap makan (sahur), berdasarkan apa yang dia pahami dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat:

مِنَ الْفَجْرِ

“Yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Ikhtilaful afham insya Allah tidak mengapa. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ وِسَادَكَ لَعَرِيضٌ

“Sesungguhnya bantalmu lebar.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengatakan kepadanya: “Ulangilah (puasamu) pada hari-hari yang engkau makan (sahur setelah lewatnya fajar).”

2. Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan/ keanekaragaman tata cara)
Yakni, diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada beberapa macam cara/ bacaan tasyahud dalam shalat, juga ada beberapa macam bacaan shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ikhtilaf jenis ini, kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil (bodoh). Dan keadaannya memang seperti yang beliau rahimahullahu katakan, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil.

3. Ikhtilaf tadhad (perbedaan kontradiktif)
Apa itu ikhtilaf tadhad? Yaitu seseorang menyelisihi suatu dalil yang jelas, tanpa alasan. Inilah yang diingkari oleh para salaf, yaitu menyelisihi dalil yang shahih dan jelas tanpa alasan.

Adapun hadits yang menjadi sandaran mereka yaitu:

اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ

“Perbedaan umatku adalah rahmat.”

Ini adalah hadits yang tidak ada sanad dan matannya. Munqathi’ (terputus sanadnya) kata As-Suyuthi rahimahullahu dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir. Beliau rahimahullahu juga berkata: “Mungkin saja ada sanadnya, yang tidak kita ketahui.”

Namun hal ini akan berakibat tersia-siakannya sebagian syariat, sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu.

Adapun tentang matan hadits ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ. إِلاَّ مَنْ رَّحِمَ رَبُّكَ

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang yang dirahmati Rabbmu.” (QS. Hud: 118-119)

Mafhum dari ayat yang mulia ini, bahwa orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah berselisih. Sedangkan orang-orang yang tidak dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berselisih.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

“Biarkanlah aku dan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Hanyalah yang membinasakan orang-orang yang sebelum kalian adalah banyaknya mereka bertanya, dan banyaknya penyelisihan terhadap nabi-nabi mereka.”

Ini merupakan dalil bahwa ikhtilaf (perselisihan/perbedaan) adalah kebinasaan, bukan rahmat.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, di mana Ibnu Mas’ud dan salah seorang temannya berselisih tentang qira`ah (bacaan Al-Qur`an):

لَا تَخْتَلِفُوا كَمَا اخْتَلَفَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَهْلِكُوا كَمَا هَلَكُوا

“Janganlah kalian berselisih sebagaimana orang-orang sebelum kalian telah berselisih, sehingga kalian binasa sebagaimana mereka telah binasa.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Shahih Muslim dari hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu:

اسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ

“Luruskan (shaf kalian), dan janganlah berselisih, sehingga hati-hati kalian akan berselisih.”

Dalam sebuah riwayat:

لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ وُجُوهُكُمْ

“Janganlah kalian berselisih, sehingga akan berselisihlah wajah-wajah kalian.”

Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abu Dawud, dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat para shahabatnya berpencar. Mereka singgah di sebuah lembah, lalu setiap kelompok pergi ke tempat masing-masing. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ تَفَرُّقَكُمْ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ

“Sesungguhnya bercerai-berainya kalian ini adalah dari setan.”

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk berkumpul. Bila hal ini (terjadi) dalam tercerai-berainya fisik, maka apa sangkaanmu terhadap tercerai-berainya hati? Hadits-hadits tentang hal ini banyak sekali. Saya telah mengumpulkan sebagiannya dalam tulisan pendek yang berjudul Nashihati li Ahlus Sunnah dan telah tercantum dalam Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna.

Yang saya inginkan dari penjelasan ini, bahwa ikhtilaf termasuk kebinasaan. Hanya saja ikhtilaf yang mana? Yaitu ikhtilaf tadhad yang dahulu diingkari oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat. Ikhtilaf tadhad (misalnya):

- Disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Salamah ibnul Akwa’, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang makan dengan tangan kirinya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Makanlah dengan tangan kanan.” Orang itu menjawab: “Aku tidak bisa.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi: “Engkau tidak akan bisa.” Maka orang itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya. Tidak ada yang menghalanginya kecuali kesombongan.

- Dalam Ash-Shahih dari hadits Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menjenguk seorang lelaki tua yang sedang sakit. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Thahur (Sakit ini sebagai penyuci).” Namun lelaki tua itu justru berkata: “Demam yang hebat, menimpa seorang lelaki tua, yang akan mengantarnya ke kubur.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: “Kalau begitu, benar.”

Akhirnya dia terhalangi dari barakah doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

- Juga kisah seorang laki-laki yang telah kita sebutkan. Yaitu ketika ada dua orang wanita berkelahi, lalu salah seorang memukul perut yang lain, sehingga gugurlah janinnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan agar wanita yang memukul membayar diyat berupa seorang budak. Maka datanglah Haml bin Malik An-Nabighah dan berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana kami membayar diyat (atas kematian seseorang) yang tidak makan dan tidak minum, tidak bicara tidak pula menangis –atau kalimat yang semakna dengan ini–, yang seperti ini tidak dituntut diyatnya.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah, karena lelaki itu hendak membatalkan hukum Allah dengan sajaknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ

“Orang ini termasuk teman-teman para dukun.”

Yaitu karena sajaknya.

Adapun pengingkaran para ulama terhadap orang yang menolak Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akalnya, merupakan perkara yang kesempatan ini tidaklah cukup untuk menyebutkannya. Saya telah menyebutkan sebagiannya dalam akhir risalah Syar’iyyatu Ash-Shalati bin Ni’al, juga dalam Rudud Ahlil ‘Ilmi ‘ala Ath-Tha’inin fi Hadits As-Sihr.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[Diambil dari Ijabatus Sa`il, hal. 518-521]


READ MORE - Perbedaan Adalah Rahmat ?

Jika Makmum Masbuk Mendapati Jama'ah Sedang Tasyahud Akhir

 
Tanya :  
Seseorang datang terlambat menuju masjid dimana ketika itu ia mendapatkan jama’ah dalam keadaan tasyahud akhir. Apakah orang tersebut langsung bergabung dengan mereka atau menunggu jama’ah berikutnya ? Apabila orang tersebut bergabung dengan jama’ah saat tasyahud akhir, kemudian ia mendengar jama’ah baru (akan ditegakkan), apakah ia memutuskan shalatnya (dan bergabung dengan jama’ah yang baru) atau menyempurnakannya (bersama jama’ah terdahulu) ?

Jawab :
Apabila ia datang (ke masjid) sedangkan imam pada waktu itu sedang tasyahud akhir, dimana ia mengetahui bahwasannya ia akan mendapatkan jama’ah berikutnya; maka ia hendaknya menunggu untuk shalat bersama jama’ah berikutnya. Karena pendapat yang kuat mengatakan bahwa jama’ah itu tidak didapatkan kecuali mendapatkan (minmal) satu raka’at sempurna. Namun apabila ia tidak punya harapan untuk mendapatkan seseorang untuk shalat bersamanya, maka yang afdlal ia masuk bergabung dengan jama’ah pertama meskipun dalam keadaan tasyahud akhir. Karena mendapatkan sebagian shalat (berjama’ah) itu itu lebih baik daripada tidak mendapatkan sama sekali.

Apabila ia masuk bergabung bersama imam dengan perkiraannya bahwasannya ia tidak akan mendapatkan jama’ah (yang baru), kemudian (tiba-tiba) hadir jama’ah baru dan ia mendengar mereka shalat, maka tidak mengapa jika ia memutuskan shalatnya dan kemudian bergabung untuk shalat dengan jama’ah yang baru. Atau bisa juga ia meniatkan shalatnya tersebut sebagai shalat nafilah (sunnah) yang kemudian ia sempurnakan dua raka’at (dan salam). Baru setelah itu bergabung dengan jama’ah yang baru dan shalat bersama mereka. Dan apabila ia terus melanjutkan dan menyempurnakan shalatnya (dengan jama’ah yang pertama), maka ini pun tidak mengapa. Ia bisa memilih salah satu dari tiga hal yang telah dijelaskan.
[selesai]


Teks asli :


إدراك المسبوق للتتشهد الأخير
السؤال : شخص أتى إلى المسجد متأخراً، وأدرك الجماعة وهم في التشهد الأخير؛ هل يلحق بهم أم ينتظر الجماعة القادمة ؟ وإذا التحق بالجماعة في التشهد الأخير، ثم سمع جماعة جديدة؛ هل يقطع صلاته أم يتمها ؟.
الجواب : إذا كان الذي جاء والإمام في التشهد الأخير يعلم أنه سيجد جماعة؛ فإنه ينتظر ويصلي مع الجماعة؛ لأن القول الراجح أن الجماعة لا تدرك إلا بركعة كاملة، أما إذا كان لا يرجو وجود أحد يصلي معه؛ فإن الأفضل أن يدخل معهم، ولو في التشهد الأخير؛ لأن إدراك بعض الصلاة خير من عدم الإدراك بالكلية.
وإذا قدر أنه دخل مع الإمام لعلمه أنه لا يجد جماعة، ثم حضرت جماعة، وسمعهم يصلون؛ فلا حرج عليه أن يقطع صلاته ويذهب معهم ويصلي، أو ينويها نفلاً، ويتمها ركعتين، ثم يذهب مع هؤلاء القوم ويصلي معهم، وإن استمر على ما هو عليه فلا حرج، فله أن يفعل واحداً من هذه الأمور الثلاثة

[Diterjemahkan oleh Abul-Jauzaa’ dari Mukhtar min Fataawaa Ash-Shalah, hal. 66 oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin – dinukil melalui perantaraan kitab Al-Fataawaa Asy-Syar’iyyah fil-Masaailil-‘Ashriyyah min Fataawaa ‘Ulamaa Al-Baladil-Haraam hal. 178-179 yang dikumpulkan oleh Dr. Khalid bin ‘Abdirrahman Al-Juraisiy; Cet. 1/1420].

READ MORE - Jika Makmum Masbuk Mendapati Jama'ah Sedang Tasyahud Akhir

Perbedaan Hadats Dan Najis


Bismillah,
Hadats adalah sebuah hukum yang ditujukan pada tubuh seseorang dimana karena hukum tersebut dia tidak boleh mengerjakan shalat. Dia terbagi menjadi dua: Hadats akbar yaitu hadats yang hanya bisa diangkat dengan mandi junub, dan hadats ashghar yaitu yang cukup diangkat dengan berwudhu atau yang biasa dikenal dengan nama ‘pembatal wudhu’.

Adapun najis maka dia adalah semua perkara yang kotor dari kacamata syariat, karenanya tidak semua hal yang kotor di mata manusia langsung dikatakan najis, karena najis hanyalah yang dianggap kotor oleh syariat. Misalnya tanah atau lumpur itu kotor di mata manusia, akan tetapi dia bukan najis karena tidak dianggap kotor oleh syariat, bahkan tanah merupakan salah satu alat bersuci.

Najis terbagi menjadi tiga :
1. Najis maknawiah, misalnya kekafiran. Karenanya Allah berfirman, “Orang-orang musyrik itu adalah najis,” yakni bukan tubuhnya yang najis akan tetapi kekafirannya.

2. Najis ainiah, yaitu semua benda yang asalnya adalah najis. Misalnya: Kotoran dan kencing manusia dan seterusnya.

3. Najis hukmiah, yaitu benda yang asalnya suci tapi menjadi najis karena dia terkena najis. Misalnya: Sandal yang terkena kotoran manusia, baju yang terkena haid atau kencing bayi, dan seterusnya.

Dari perbedaan di atas kita bisa melihat bahwa hadats adalah sebuah hukum atau keadaan, sementara najis adalah benda atau zat. Misalnya: Buang air besar adalah hadats dan kotoran yang keluar adalah najis, buang air kecil adalah hadats dan kencingnya adalah najis, keluar darah haid adalah hadats dan darah haidnya adalah najis.

Kemudian yang penting untuk diketahui adalah bahwa tidak ada korelasi antara hadats dan najis, dalam artian tidak semua hadats adalah najis demikian pula sebaliknya tidak semua najis adalah hadats.

Contoh hadats yang bukan najis adalah mani dan kentut. Keluarnya mani adalah hadats yang mengharuskan seseorang mandi akan tetapi dia sendiri bukan najis karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah shalat dengan memakai pakaian yang terkena mani, sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah. Demikian pula buang angin adalan hadats yang mengharuskan wudhu akan tetapi anginnya bukanlah najis, karena seandainya dia najis maka tentunya seseorang harus mengganti pakaiannya setiap kali dia buang angin.

Contoh yang najis tapi bukan hadats adalah bangkai. Dia najis tapi tidak membatalkan wudhu ketika menyentuhnya dan tidak pula membatalkan wudhu ketika memakannya, walaupun tentunya memakannya adalah haram.
Jadi, yang membatalkan thaharah hanyalah hadats dan bukan najis.

Karenanya jika seseorang sudah berwudhu lalu dia buang air maka wudhunya batal, akan tetapi jika setelah dia berwudhu lalu menginjak kencing maka tidak membatalkan wudhunya, dia hanya harus mencucinya lalu pergi shalat tanpa perlu mengulangi wudhu, dan demikian seterusnya.

Kemudian di antara perbedaan antara hadats dan najis adalah bahwa hadats membatalkan shalat sementara najis tidak membatalkannya. Hal itu karena bersih dari hadats adalah syarat syah shalat sementara bersih dari najis adalah syarat wajib shalat. Dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudri dimana tatkala Nabi -alaihishshalatu wassalam- sedang mengimami shalat, Jibril memberitahu beliau bahwa di bawah sandal beliau adalah najis. Maka beliau segera melepaskan kedua sandalnya -sementara beliau sedang shalat- lalu meneruskan shalatnya. Seandainya najis membatalkan shalat tentunya beliau harus mengulangi dari awal shalat karena rakaat sebelumnya batal. Tapi tatkala beliau melanjutkan shalatnya, itu menunjukkan rakaat sebelumnya tidak batal karena najis yang ada di sandal beliau. Jadi orang yang shalat dengan membawa najis maka shalatnya tidak batal, akan tetapi dia berdoa kalau dia sengaja dan tidak berdosa kalau tidak tahu atau tidak sengaja.

Kesimpulan :
Dari uraian di atas kita bisa memetik beberapa perbedaan antara hadats dan najis di kalangan fuqaha` yaitu:
1. Hadats adalah hukum atau keadaan, sementara najis adalah zat atau benda.
2. Hadats membatalkan wudhu sementara najis tidak.
3. Hadats membatalkan shalat sementara najis tidak.
4. Hadats diangkat dengan bersuci (wudhu, mandi, tayammum), sementara najis dihilangkan cukup dengan dicuci sampai hilang zatnya.
Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam.



READ MORE - Perbedaan Hadats Dan Najis

Hukum Shalat Jum'at Bagi Wanita

Pertanyaan :

Bagaimana hukum shalat Jum’at bagi wanita? Apakah khusus bagi laki-laki saja? Mohon Penjelasan.

Nurjannah tri…@pajak.go.id

Jawab :

 Shalat Jum’at tidaklah wajib bagi wanita dengan kesepakatan para Ulama’, demikian dikatakan Ibnu Khuzaimah Rahimahullah dalam Shahihnya (3/112). Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata, "Adapun wanita, maka tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang tidak wajibnya shalat Jum’at bagi kaum wanita." (Al Mughni, 2/338)

Yang juga mendukung tidak wajibnya shalat Jum’at bagi wanita adalah hadits Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam yang menunjukkan keutamaan shalat di rumah bagi wanita dibanding shalatnya di masjid (yang artinya), "Shalatnya salah seorang dari kalian di makhda’nya (kamar khusus yang dipergunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalat di kamarnya lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid kaumnya. Dan shalat di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku." (Hadits riwayat Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dan dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah hal 115).

Namun apabila seorang wanita telah mengerjakan shalat Jum’at bersama Imam (di masjid) maka shalatnya sah dan tidak perlu lagi mengerjakan shalat Dzuhur. Demikian yang disepakati pada Ulama’ sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ Syahrul Muhadzdzab (4/495)  
 

 

[Majalah Asy Syariah halaman 75, Vol I/No.04/Syawwal 1424 H/Desember 2003]

Sumber : 
http://ghuroba.blogsome.com/2007/12/06/shalat-jumat-bagi-wanita/
READ MORE - Hukum Shalat Jum'at Bagi Wanita

Hukum Shalat Jama'ah

 
 
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi


Tidak disangsikan lagi permasalahan ibadah merupakan inti ajaran Islam. Syari’at sangat memperhatikan permasalahan ini, karena merupakan perwujudan aqidah seseorang. Dan Allah l menjadikannya sebagai tujuan penciptaan manusia dalam firmanNya,

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu. [Adz Dzariyat:56].

Diantara ibadah yang agung dan penting ialah shalat. Karena merupakan amalan terbaik seorang hamba. Rasulullah n bersabda,

اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ

Istiqamahlah, dan kalian tidak akan mampu ber-istiqamah dengan sempurna. Ketahuilah, sebaik-baik amalan kalian ialah shalat. Dan tidaklah menjaga wudhu, kecuali seorang mukmin.[1]

Terlebih lagi, shalat telah diwajibkan Allah terhadap kaum mukminin. Sehingga sudah selayaknya kita memperhatikan masalah ini. Dengan berharap dapat menunaikannya secara sempurna.

KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM
Shalat menempati kedudukan tinggi dalam Islam. Adalah rukun kedua dan berfungsi sebagai tiang agama. Rasulullah bersabda,

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ

Pemimpin segala perkara (agama) ialah Islam (syahadatain), dan tiangnya ialah shalat.[2]

Seluruh syariat para rasul menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk menunaikannya, sebagaimana Allah berfirman menjelaskan do’a Nabi Ibrohim Alaihissallam :

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ

Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak-cucuku, orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Rabb kami, perkenankan do'aku. [Ibrahim:40].

Dan mengisahkan Nabi Ismail Alaihissallam :

وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بَالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا

Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. [Maryam :55].

Demikian juga menyampaikan berita kepada Nabi Musa Alaihissallam :

إِنَّنِى أَنَا اللهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [Thaha :14].

Nabi Isa Alaihissallam menceritakan nikmat yang diperolehnya dalam Al Qur’an:

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَاكُنتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ مَادُمْتُ حَيًّا

Dan Dia menjadikan aku seorang yang berbakti di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. [Maryam :31].

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengambil perjanjian Bani Israil untuk menegakkan shalat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُو الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنكُمْ وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. [Al Baqarah :83].

Demikian juga Allah memerintahkan hal itu kepada Nabi Muhamad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam firmanNya:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَنَسْئَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa. [Thaha:132].

Demikian tinggi kedudukan shalat dalam Islam, sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikannya sebagai pembeda antara mukmin dan kafir. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara aku dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka telah berbuat kekafiran.[3]

Memang, seseorang yang meninggalkan shalat, akan lebih mudah meninggalkan yang lainnya. Kemudian terputuslah hubungannya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Abu Bakar Ash Shidiq menyatakan dalam surat Beliau kepada Umar,“Ketahuilah, perkara yang paling penting padaku ialah shalat. Karena seseorang yang meninggalkannya, akan lebih mudah meninggalkan yang lainnya. Dan ketahuilah, Alah Subhanahu wa Ta'ala memiliki satu hak pada malam hari yang tidak diterimaNya pada siang hari. Dan satu hak pada siang hari yang tidak diterimaNya pada malam hari. Allah tidak menerima amalan sunnah, sampai (seseorang) menunaikan kewajiban.” [4]

HUKUM SHOLAT BERJAMA’AH
Shalat jama’ah disyari’atkan dalam Islam. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Terpilah menjadi empat pendapat.

Pertama : Hukumnya Fardhu Kifayah.
Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimin (terdahulu, peny.), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,“Dzahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimin dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.” [5]

Dalil-Dalilnya.
Hadits Pertama.

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.[6]

As Saib berkata,”Yang dimaksud berjama’ah ialah jama’ah dalam shalat.[7]

Hadits Kedua.

ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi imam. [8]

Hadits Ketiga.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” [9]

Kedua : Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjama’ah, kecuali dengan udzur.

Demikian ini pendapat Dzahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa.

Diantara Dalil-Dalinya, ialah:

Hadits Pertama.

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur. [10]

Hadits Kedua.

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

Demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka. [11]

Hadits Ketiga.

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ

Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya,“Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!” [12]

Ketiga : Hukumnya Sunnah Muakkad.

Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj.

Dalil-Dalilnya.


Hadits Pertama.


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً


Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah n bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.”[13]


Hadits Kedua.


إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ فِي جَمَاعَةٍ


Sesungguhnya, orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat ialah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat, kemudian tidur. Dalam riwayat Abu Kuraib, (disebutkan): sampai shalat bersama imam dalam jama’ah. [14]


Imam Asy Syaukani menyatakan setelah membantah pendapat yang mewajibkannya,“Pendapat yang tepat dan mendekati kebenaran, (bahwa) shalat jama’ah termasuk sunah-sunah yang muakkad… Adapun hukum shalat jama’ah adalah fardhu ‘ain atau kifayah atau syarat sah shalat maka tidak”.


Hal ini dikuatkan oleh Shidiq Hasan Khan dengan pernyataan Beliau, “Adapun hukumnya fardhu, maka dalil-dalilnya masih dipertentangkan. Akan tetapi terdapat cara ushul fiqh yang mengkompromikan dalil-dalil tersebut. Yaitu, hadits-hadits keutamaan shalat jama’ah menunjukkan keabsahan shalat secara sendirian. Hadits-hadits ini cukup banyak. Diantaranya :


وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّي وَحْدَهُ ثُمَّ يَنَامُ


Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. Hadits ini dalam kitab shahih. Juga, diantaranya hadits tentang seseorang yang shalatnya salah. Kemudian Rasulullah n memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya, sendirian. Kemudian hadits أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا (seandainya ada seorang yang bersedekah kepadanya) [15]. Ketika melihat seseorang shalat sendirian.


Diantara hadits-hadits yang menguatkannya ialah hadits yang mengajarkan rukun Islam. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang yang diajarinya untuk tidak shalat, kecuali berjama’ah. Padahal Beliau mengatakan kepada orang yang menyatakan saya tidak menambah dan menguranginya: أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ (telah beruntung jika benar) dan dalil-dalil lainnya. Semua ini dapat menjadi pemaling sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam فَلاَ صَلاَةَ لَهُ yang ada pada hadits-hadits yang menunjukan kewajiban berjama’ah kepada peniadaan kesempurnaan, bukan keabsahannya.” [16]


Pendapat ini dirajihkan oleh Asy Syaukani dan Shidiq Hasan Khan serta Sayyid Sabiq.[17]


Keempat : Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) Dan Bukan Syarat.

Demikian ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, Al Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali.

Dalilnya.

- Dalil-dalil dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا


Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan se-raka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. [An Nisa’:102].


Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas mengenai kewajiban shalat berjama’ah. Yakni tidak boleh ditinggalkan, kecuali ada udzur, seperti: ketakutan atau sakit.


وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ


Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'. [Al Baqarah:43).


Ayat di atas merupakan perintah. Kata perintah menunjukkan maksud kewajiban shalat berjama’ah.


فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَارُ


Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. [An Nur:36-37].


قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَابَدَأَكُمْ تَعُودُونَ


Katakanlah,"Rabbku menyuruh menjalankan keadilan." Dan (katakanlah),"Luruskan muka (diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta'atanmu kepadaNya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya." [Al A’raf:29].


Kedua ayat di atas, terdapat kata perintah yang menunjukkan kewajiban shalat berjama’ah.


يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلاَيَسْتَطِيعُونَ خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ


Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera. [Al Qalam:42-43].


Ibnul Qayyim berkata,“Sisi pendalilannya, adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala menghukum mereka pada hari kiamat dengan memberikan penghalang antara mereka dengan sujud, ketika diperintahkan untuk sujud. Mereka diperintahkan sujud di dunia dan enggan menerimanya. Jika demikian, maka menjawab panggilan mendatangi masjid untuk menghadiri jama’ah shalat, bukan sekedar melaksanakannya di rumahnya saja.”


- Dalil dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.


وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ


Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah). Lalu aku bakar rumah-rumah mereka.[18]


Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan,“Adapun hadits bab (hadits di atas), maka dhahirnya menunjukkan, (bahwa) shalat berjama’ah fardhu ‘ain. Karena, seandainya hanya sunah, tentu tidak mengancam yang meninggalkannya dengan (ancaman) pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi, atas orang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti pensyari’atan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah.”[19]


Demikian juga Ibnu Daqiqil ‘Ied menyatakan,“Ulama yang berpendapat, bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan hadits ini. Karena jika dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Rasulullah dan orang yang bersamanya dan jika dikatakan sunnah, tentu tidaklah dibunuh orang yang meninggalkan sunah. Dengan demikian jelaslah, shalat jama’ah hukumnya fardhu ‘ain.” [20]


أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ


Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya,“Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!” [21]


Setelah menyampaikan hujjahnya dengan hadits ini, Ibnu Qudamah berkata,“Jika orang buta yang tidak memiliki orang untuk mengantarnya, tidak diberi keringanan, maka, (yang) selainnya lebih lagi.” [22]


مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ


Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.[23]


Nash-nash ini menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa Saudi Arabia) [24] dan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan dalam kitabnya Shalat Al Jama’ah [25]. Demikian juga sejumlah ulama lainnya. Wallahu a’lam.




[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, kitab Thoharoh Wa Sunanuha, bab Al Muhafadzoh Alal Wudhu No. 253, Ahmad dalam musnadnya No. 21400 dan 21344 dan Addarimiy dalam sunannya, kitab Thaharoh, bab Ma Ja’a fith Thuhur No.653.
[2]. Diriwayatkan oleh Attirmidziy dalam sunannya, kitab Al Iman bir Rasulillah n no. 3541 dan Ahmad dalam musnadnya no. 21054, Attirmidziy berkata: “Ini hadits hasan shohih”.

[3]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Jami’nya (Sunannya), kitab Iman bir Rasulillah n , Bab Ma Ja’a Fi Tarki Shalat, no. 2545 dan An Nasa’i dalam Sunannya kitab Shalat, Bab Al Hukmu Fi Tarikis Shalat, no. 459 dengan sanad yang shahih.

[4]. Dinukil oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, 22/40.
[5]. Fathul Bari, 2/26.
[6]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, kitab Ash Shalat, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no. 460, An Nasa’i dalam Sunannya, kitab Al Imamah, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.
[7]. Lihat penukilan Abu Dawud setelah menyampaikan hadits diatas.
[8]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Al Adzan Lil Musafir Idza Kanu Jama’atan wal Iqamah Kadzalik, no. 595 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalat, Bab Man Ahaqu bil Imamah, no. 1080.
[9]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Fadhlu Shalatul Jama’ah, no. 609.
[10]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab Al Masajid wal Jama’ah, Bab At Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.
[11]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah wa Bayani At Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.
[12]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044.
[13]. Diriwayatkan oleh Bukhoriy dalam shohihnya kitab Al Adzaan, Bab Fadhlu sholatul jama’ah no. 609.
[14]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam shohihnya kitab Al Masaajid Wa Mawaadhi’ Sholat, bab Fadhlu Katsrotil Khutha Ilal Masaajid, no.1064. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya no. 11380.
[15]. Raudhatun Nadiyah Syarah Durarul Bahiyah, 1/306.
[16]. Fiqih Sunnah, 1/248.
[18]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya kitab Al Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah wa Bayani At Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.
[19]. Fathul Bari, 2/125.
[20]. Ihkamul Ahkam, 1/124.
[21]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044.
[22]. Al Mughni, 3/6.
[23]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, kitab Ash Shalat, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.460, An Nasa’i dalam Sunannya, kitab Al Imamah, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.
[24]. Fatawa Lajnah Daimah, 7/283.
[25]. Ibid. hal. 72. 


READ MORE - Hukum Shalat Jama'ah

- popular posts -

- followers -