Waktu-Waktu Terkabulnya Do’a



Sungguh berbeda Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Dia Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Lihatlah manusia, ketika ada orang meminta sesuatu darinya ia merasa kesal dan berat hati. Sedangkan Allah Ta’ala mencintai hamba yang meminta kepada-Nya. Sebagaimana perkataan seorang penyair:
الله يغضب إن تركت سؤاله  وبني آدم حين يسأل يغضب
Allah murka pada orang yang enggan meminta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta ia marah

Ya, Allah mencintai hamba yang berdoa kepada-Nya, bahkan karena cinta-Nya Allah memberi ‘bonus’ berupa ampunan dosa kepada hamba-Nya yang berdoa. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
يا ابن آدم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان منك ولا أبالي
Wahai manusia, selagi engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, aku mengampuni dosamu dan tidak aku pedulikan lagi dosamu” (HR. At Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits hasan shahih’)

Sungguh Allah memahami keadaan manusia yang lemah dan senantiasa membutuhkan akan Rahmat-Nya. Manusia tidak pernah lepas dari keinginan, yang baik maupun yang buruk. Bahkan jika seseorang menuliskan segala keinginannya dikertas, entah berapa lembar akan terpakai.
Maka kita tidak perlu heran jika Allah Ta’ala melaknat orang yang enggan berdoa kepada-Nya. Orang yang demikian oleh Allah ‘Azza Wa Jalla disebut sebagai hamba yang sombong dan diancam dengan neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Berdoalah kepadaKu, Aku akan kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku, akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (QS. Ghafir: 60)

Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Maha Pemurah terhadap hamba-Nya, karena hamba-Nya diperintahkan berdoa secara langsung kepada Allah tanpa melalui perantara dan dijamin akan dikabulkan. Sungguh Engkau Maha Pemurah Ya Rabb…

Berdoa Di Waktu Yang Tepat
Diantara usaha yang bisa kita upayakan agar doa kita dikabulkan oleh Allah Ta’ala adalah dengan memanfaatkan waktu-waktu tertentu yang dijanjikan oleh Allah bahwa doa ketika waktu-waktu tersebut  dikabulkan. Diantara waktu-waktu tersebut adalah:

1. Ketika sahur atau sepertiga malam terakhir
Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang berdoa disepertiga malam yang terakhir. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya:
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون
Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18)
Sepertiga malam yang paling akhir adalah waktu yang penuh berkah, sebab pada saat itu Rabb kita Subhanahu Wa Ta’ala turun ke langit dunia dan mengabulkan setiap doa hamba-Nya yang berdoa ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا ، حين يبقى ثلث الليل الآخر، يقول : من يدعوني فأستجيب له ، من يسألني فأعطيه ، من يستغفرني فأغفر له
Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758)
Namun perlu dicatat, sifat ‘turun’ dalam hadits ini jangan sampai membuat kita membayangkan Allah Ta’ala turun sebagaimana manusia turun dari suatu tempat ke tempat lain. Karena tentu berbeda. Yang penting kita mengimani bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, karena yang berkata demikian adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam diberi julukan Ash shadiqul Mashduq (orang jujur yang diotentikasi kebenarannya oleh Allah), tanpa perlu mempertanyakan dan membayangkan bagaimana caranya.
Dari hadits ini jelas bahwa sepertiga malam yang akhir adalah waktu yang dianjurkan untuk memperbanyak berdoa. Lebih lagi di bulan Ramadhan, bangun di sepertiga malam akhir bukanlah hal yang berat lagi karena bersamaan dengan waktu makan sahur. Oleh karena itu, manfaatkanlah sebaik-baiknya waktu tersebut untuk berdoa.

2. Ketika berbuka puasa
Waktu berbuka puasa pun merupakan waktu yang penuh keberkahan, karena diwaktu ini manusia merasakan salah satu kebahagiaan ibadah puasa, yaitu diperbolehkannya makan dan minum setelah seharian menahannya, sebagaimana hadits:
للصائم فرحتان : فرحة عند فطره و فرحة عند لقاء ربه
Orang yang berpuasa memiliki 2 kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-Nya kelak” (HR. Muslim, no.1151)
Keberkahan lain di waktu berbuka puasa adalah dikabulkannya doa orang yang telah berpuasa, sebagaimana sabda  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
ثلاث لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل و المظلوم
‘”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzhalimi” (HR. Tirmidzi no.2528, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi)
Oleh karena itu, jangan lewatkan kesempatan baik ini untuk memohon apa saja yang termasuk kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Namun perlu diketahui, terdapat doa yang dianjurkan untuk diucapkan ketika berbuka puasa, yaitu doa berbuka puasa. Sebagaimana hadits,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)” (HR. Abu Daud no.2357, Ad Daruquthni 2/401, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232)
Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan lafazh berikut:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
adalah hadits palsu, atau dengan kata lain, ini bukanlah hadits. Tidak terdapat di kitab hadits manapun. Sehingga kita tidak boleh meyakini doa ini sebagai hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. 
Oleh karena itu, doa dengan lafazh ini dihukumi sama seperti ucapan orang biasa seperti saya dan anda. Sama kedudukannya seperti kita berdoa dengan kata-kata sendiri. Sehingga doa ini tidak boleh dipopulerkan apalagi dipatenkan sebagai doa berbuka puasa.
Memang ada hadits tentang doa berbuka puasa dengan lafazh yang mirip dengan doa tersebut, semisal:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim
Dalam Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341), dinukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani: “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga di-dhaif-kan oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Atau doa-doa yang lafazh-nya semisal hadits ini semuanya berkisar antara hadits dhaif atau munkar.

3. Ketika malam lailatul qadar
Malam lailatul qadar adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Malam ini lebih utama dari 1000 bulan. Sebagaimana firmanAllah Ta’ala:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam Lailatul Qadr lebih baik dari 1000 bulan” (QS. Al Qadr: 3)
Pada malam ini dianjurkan memperbanyak ibadah termasuk memperbanyak doa. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ummul Mu’minin Aisyah Radhiyallahu ’anha:
قلت يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني
“Aku bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, menurutmu apa yang sebaiknya aku ucapkan jika aku menemukan malam Lailatul Qadar? Beliau bersabda: Berdoalah:
اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني
Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni ['Ya Allah, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dan menyukai sifat pemaaf, maka ampunilah aku'']”(HR. Tirmidzi, 3513, Ibnu Majah, 3119, At Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih”)
Pada hadits ini Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha meminta diajarkan ucapan yang sebaiknya diamalkan ketika malam Lailatul Qadar. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan lafadz doa. Ini menunjukkan bahwa pada malam Lailatul Qadar dianjurkan memperbanyak doa, terutama dengan lafadz yang diajarkan tersebut.

4. Ketika adzan berkumandang
Selain dianjurkan untuk menjawab adzan dengan lafazh yang sama, saat adzan dikumandangkan pun termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa.  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ثنتان لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا
Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”)

5. Di antara adzan dan iqamah
Waktu jeda antara adzan dan iqamah adalah juga merupakan waktu yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة
Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan Shahih”)
Dengan demikian jelaslah bahwa amalan yang dianjurkan antara adzan dan iqamah adalah berdoa, bukan shalawatan, atau membaca murattal dengan suara keras, misalnya dengan menggunakan mikrofon. Selain tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah  Shallallahu’alaihi Wasallam, amalan-amalan tersebut dapat mengganggu orang yang berdzikir atau sedang shalat sunnah. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
لا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة
Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Al Qur’an,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud no.1332, Ahmad, 430, dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Nata-ijul Afkar, 2/16).
Selain itu, orang yang shalawatan atau membaca Al Qur’an dengan suara keras di waktu jeda ini, telah meninggalkan amalan yang di anjurkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu berdoa. Padahal ini adalah kesempatan yang bagus untuk memohon kepada Allah segala sesuatu yang ia inginkan. Sungguh merugi jika ia melewatkannya.
 
6. Ketika sedang sujud dalam shalat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد . فأكثروا الدعا
Seorang hamba berada paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia sedang bersujud. Maka perbanyaklah berdoa ketika itu” (HR. Muslim, no.482)

7. Ketika sebelum salam pada shalat wajib
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
قيل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الدعاء أسمع قال جوف الليل الآخر ودبر الصلوات المكتوبات
Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, kapan doa kita didengar oleh Allah? Beliau bersabda: “Diakhir malam dan diakhir shalat wajib” (HR. Tirmidzi, 3499)
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Zaadul Ma’ad (1/305) menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘akhir shalat wajib’ adalah sebelum salam. Dan tidak terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib. Ahli fiqih masa kini, Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata: “Apakah berdoa setelah shalat itu disyariatkan atau tidak? Jawabannya: tidak disyariatkan. Karena Allah Ta’ala berfirman:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
Jika engkau selesai shalat, berdzikirlah” (QS. An Nisa: 103). Allah berfirman ‘berdzikirlah’, bukan ‘berdoalah’. Maka setelah shalat bukanlah waktu untuk berdoa, melainkan sebelum salam” (Fatawa Ibnu Utsaimin, 15/216).
Namun sungguh disayangkan kebanyakan kaum muslimin merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib yang sebenarnya tidak disyariatkan, kemudian justru meninggalkan waktu-waktu mustajab yang disyariatkan yaitu diantara adzan dan iqamah, ketika adzan, ketika sujud dan sebelum salam.

8. Di hari Jum’at
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر يوم الجمعة ، فقال : فيه ساعة ، لا يوافقها عبد مسلم ، وهو قائم يصلي ، يسأل الله تعالى شيئا ، إلا أعطاه إياه . وأشار بيده يقللها
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan tentang hari  Jumat kemudian beliau bersabda: ‘Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta’. Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut” (HR. Bukhari 935, Muslim 852 dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu)
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan hadits ini beliau menyebutkan 42 pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud. Namun secara umum terdapat 4 pendapat yang kuat. 

Pendapat pertama, yaitu waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits:
هي ما بين أن يجلس الإمام إلى أن تقضى الصلاة
Waktu tersebut adalah ketika imam naik mimbar sampai shalat Jum’at selesai” (HR. Muslim, 853 dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu).
Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al Baihaqi.
Pendapat kedua, yaitu setelah ashar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan hadits:
يوم الجمعة ثنتا عشرة يريد ساعة لا يوجد مسلم يسأل الله عز وجل شيئا إلا أتاه الله عز وجل فالتمسوها آخر ساعة بعد العصر
Dalam 12 jam hari Jum’at ada satu waktu, jika seorang muslim meminta sesuatu kepada Allah Azza Wa Jalla pasti akan dikabulkan. Carilah waktu itu di waktu setelah ashar” (HR. Abu Daud, no.1048 dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu. Dishahihkan Al Albani di Shahih Abi Daud). Pendapat ini dipilih oleh At Tirmidzi, dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pendapat ini yang lebih masyhur dikalangan para ulama.
Pendapat ketiga, yaitu setelah ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini didasari oleh riwayat dari Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul Zamlakani menguatkan pendapat ini.
Pendapat keempat, yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan semua pendapat yang ada. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada dua waktu yang disebutkan”. Dengan demikian seseorang akan lebih memperbanyak doanya di hari Jum’at tidak pada beberapa waktu tertentu saja. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu ‘Abdil Barr.

9. Ketika turun hujan
Hujan adalah nikmat Allah Ta’ala. Oleh karena itu tidak boleh mencelanya. Sebagian orang merasa jengkel dengan turunnya hujan, padahal yang menurunkan hujan tidak lain adalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, daripada tenggelam dalam rasa jengkel lebih baik memanfaatkan waktu hujan untuk berdoa memohon apa yang diinginkan kepada Allah Ta’ala:
ثنتان ما تردان : الدعاء عند النداء ، و تحت المطر
Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun” (HR Al Hakim, 2534, dishahihkan Al Albani di Shahih Al Jami’, 3078)

10. Hari Rabu antara Dzuhur dan Ashar
Sunnah ini belum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, yaitu dikabulkannya doa diantara shalat Zhuhur dan Ashar dihari Rabu. Ini diceritakan oleh Jabir bin Abdillah Radhiallahu ’anhu:
أن النبي صلى الله عليه وسلم دعا في مسجد الفتح ثلاثا يوم الاثنين، ويوم الثلاثاء، ويوم الأربعاء، فاستُجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين فعُرِفَ البِشْرُ في وجهه
قال جابر: فلم ينزل بي أمر مهمٌّ غليظ إِلاّ توخَّيْتُ تلك الساعة فأدعو فيها فأعرف الإجابة
Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa di Masjid Al Fath 3 kali, yaitu hari Senin, Selasa dan Rabu. Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu diantara dua shalat. Ini diketahui dari kegembiraan di wajah beliau. Berkata Jabir : ‘Tidaklah suatu perkara penting yang berat pada saya kecuali saya memilih waktu ini untuk berdoa,dan saya mendapati dikabulkannya doa saya‘”
Dalam riwayat lain:
فاستجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين الظهر والعصر
Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu di antara shalat Zhuhur dan Ashar” (HR. Ahmad, no. 14603, Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid, 4/15, berkata: “Semua perawinya tsiqah”, juga dishahihkan Al Albani di Shahih At Targhib, 1185)

11. Ketika Hari Arafah
Hari Arafah adalah hari ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Pada hari tersebut dianjurkan memperbanyak doa, baik bagi jama’ah haji maupun bagi seluruh kaum muslimin yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خير الدعاء دعاء يوم عرفة
Doa yang terbaik adalah doa ketika hari Arafah” (HR. At Tirmidzi, 3585. Di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

12. Ketika Perang Berkecamuk
Salah satu keutamaan pergi ke medan perang dalam rangka berjihad di jalan Allah adalah doa dari orang yang berperang di jalan Allah ketika perang sedang berkecamuk, diijabah oleh Allah Ta’ala. Dalilnya adalah hadits yang sudah disebutkan di atas:
ثنتان لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا
Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”)

13. Ketika Meminum Air Zam-zam
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ماء زمزم لما شرب له
Khasiat Air Zam-zam itu sesuai niat peminumnya” (HR. Ibnu Majah, 2/1018. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah, 2502)
Demikian uraian mengenai waktu-waktu yang paling dianjurkan untuk berdoa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala mengabulkan doa-doa kita dan menerima amal ibadah kita.
Amiin Ya Mujiibas Sa’iliin.


READ MORE - Waktu-Waktu Terkabulnya Do’a

Keutamaan Meninggal di Atas Kalimat Syahadat

بسم الله الرحمن الرحيم

Keutamaan Meninggal Dunia di Atas Dua Kalimat Syahadat

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ » رواه أبو داود وأحمد والحاكم

Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang ucapan terakhirnya (sebelum meninggal dunia) kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ (tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah) maka dia akan masuk surga”[1].


Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan dan keistimewaan orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat (sebagai kalimat terakhir) sebelum meninggal dunia, karena ini merupakan sebab turunnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada-Nya dan selamatnya dia dari azab neraka[2]. Ini juga termasuk ciri utama orang yang meraih husnul khatimah (meninggal dunia di atas kebaikan)[3].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Maksud dari kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ dalam hadits ini juga mencakup kalimat syahadat ‘Muhammadur Rasulullahí’ (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul/utusan Allah), sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat lain dari hadits ini[4], dan demikian keterangan dari para ulama[5].
- Berpegang teguh dengan dua kalimat syahadat dengan memahami dan mengamalkannya dengan benar adalah termasuk sebab utama untuk meraih keteguhan iman dan husnul khatimah (meninggal dunia di atas kebaikan), sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

{يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS Ibrahim:27).

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat ini adalah dua kalimat syahadat yang dipahami dan diamalkan dengan benar, sebagaimana yang ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “ Seorang muslim ketika dia ditanya (diuji) di dalam kuburnya (oleh malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa ‘tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah’ dan ‘Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah’, itulah makna Firman-Nya: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat””[6].
- Imam Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdirrahman al-Isybili berkata: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya su’ul khatimah (mati di atas keburukan) – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita semua dari hal itu – tidak akan terjadi pada orang yang istiqamah/lurus (dalam amalan/penampilan) lahirnya (dengan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), yang (di sertai dengan) kebaikan (kesucian) dalam batinnya/hatinya, dan su’ul khatimah itu hanya akan terjadi pada seorang yang pada akal (pemikiran/pemahaman)nya ada penyimpangan, atau orang yang terus-menerus melakukan perbuatan dosa besar, dan berani melakukan kesalahan-kesalahan besar, (yang) kemudian hal-hal tersebut menguasai dirinya sampai kematian datang menjemputnya (dengan tiba-tiba) sebelum dia sempat bertobat dan kembali (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), maka dalam kondisi yang sangat genting dan gawat itu syaithan pun menyambarnya (menjerumuskannya), semoga Allah melindungi (kita semua) dan semoga Allah melindungi (kita semua), atau (juga) pada seorang yang istiqamah (pada mulanya), kemudian dia berubah dan meninggalkan keadaan dan kebiasaan baik tersebut, dan dalam keadaan itu syaithan pun menjerumuskannya, (yang) kemudian hal itu menjadi penyebab dia ditimpa su’ul khatimah dan akhir kehidupan yang buruk, semoga Allah melindungi (kita semua)”[7].
- Dianjurkan menuntun orang yang akan meninggal dunia dengan dua kalimat syahadat agar itu menjadi akhir ucapannya[8], sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits lain: “Tuntunlah orang yang akan meninggal dunia di antara kalian (untuk mengucapkan kalimat) ‘Laa ilaaha illallah’ (tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah)”[9].
- Menuntun orang yang akan meninggal dunia dilakukan dengan perlahan dan tidak menyusahkannya, supaya hatinya tidak membenci kalimat syahadat dan lidahnya mengucapkan kalimat yang buruk[10]. Kemudian jika dia sudah mengucapkannya maka tidak perlu diulangi, kecuali jika setelah itu dia mengucapkan kalimat lain[11].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 20 Dzulqo’dah 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni




[1] HR Abu Dawud (no. 3116), Ahmad (5/247) dan al-Hakim (1/503), dinyatakan shahih oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi, dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani karena dikuatkan dari jalur dan riwayat lain. Lihat kitab “Irwa-ul galiil” (3/150).
[2] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam “Syarhu shahiihi Muslim” (1/220).
[3] Lihat kitab “Ahkaamul jana-iz” (hal. 48).
[4] Lihat “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 2278).
[5] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (8/267).
[6] HSR al-Bukhari (no. 4422) dan Muslim (no. 2871).
[7] Kitab “Al ‘Aaqibah fii dzikril mauti wal aakhirah” (hal. 180-181), dengan perantaraan kitab “Mahabbatur rasul bainal ittiba’ wal ibtida’” (hal. 302).
[8] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (4/45) dan “Bahjatun naazhiriin” (2/171).
[9] HSR Muslim (no. 916 dan 917).
[10] Lihat kitab “Tuhfatul Ahwadzi” (4/45).
[11] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (8/268).


Sumber : http://manisnyaiman.com/keutamaan-meninggal-di-atas-kalimat-syahadat/
READ MORE - Keutamaan Meninggal di Atas Kalimat Syahadat

Ulama Salaf, Benteng Kokoh Penjaga Sunnah

 بسم الله الرحمن الرحيم

ULAMA SALAF, BENTENG KOKOH PENJAGA SUNNAH




Setiap orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran Islam wajib meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan selalu menjaga kemurnian dan kebenaran agama Islam sampai hari kiamat. Penjagaan Allah ‘Azza wa Jalla terhadap kemurnian agama Islam ini adalah dengan menjaga sumber hukum syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak ada alasan apapun bagi semua manusia, sejak diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir jaman, untuk berpaling dari terangnya kebenaran Islam, ketika Allah Ta’ala meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:


{رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا}

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS an-Nisaa’ :165).

Penjagaan terhadap kemurnian agama Islam ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya:

{إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya” (QS al-Hijr: 9).

Penjagaan terhadap al-Qur’an dalam ayat ini mencakup penjagaan terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kemurnian al-Qur’an pada lafazh (teks) dan kandungan maknanya[1], sedangkan kandungan makna al-Qur’an yang benar dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

{وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ}
 
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menjelaskan kepada umat manusia (kandungan makna al-Qur’an) yang telah diturunkan kepada mereka, supaya mereka memikirkan” (QS an-Nahl: 44).

Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Sunnah (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah penjabar dan penjelas makna al-Qur’an”[2].

Imam Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata: “Firman Allah ini mengandung konsekwensi bahwa syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu terjaga dan sunnah (hadits-hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa terpelihara”[3].

Oleh karena itu, beberapa ulama ahli tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat) bahwa makna adz-Dzikr dalam ayat di atas bukan hanya al-Qur’an saja, tapi juga mencakup hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena keduanya adalah adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan Allah Ta’ala kepada manusia[4].

Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Hazm berkata: “…Maka benarlah bahwa semua hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang agama adalah wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada keraguan dalam masalah ini. Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli bahasa (Arab) dan ahli syariat Islam (ulama) bahwa semua wahyu yang diturunkan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan (oleh Allah). Maka wahyu seluruhnya terjaga (kemurniannya) secara pasti dengan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan semua hal yang dijamin penjagaannya oleh Allah ditanggung tidak akan hilang (rusak) sedikitpun dan tidak akan berubah selamanya dengan perubahan yang tidak dijelaskan kebatilan (kesalahannya)…Maka mestilah agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (akan senantiasa) terjaga (kemurniannya) dengan penjagaan langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala…”[5].

Para ulama Ahli hadits penjaga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara sebab utama yang Allah Ta’ala jadikan untuk penjagaan kemurnian agama-Nya adalah dengan menghadirkan para ulama Ahli hadits di setiap generasi sejak jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari kiamat.
Mereka inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

«يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وَتَحْرِيفَ الْغَالِينَ»

“Akan membawa ilmu agama ini dari setiap generasi orang-orang yang adil (terpercaya) dari mereka, (dan) mereka akan menghilangkan/membersihkan ilmu agama dari (upaya) at-tahriif (menyelewengkan kebenaran/merubah kebenaran dengan kebatilan) dari orang-orang yang melampaui batas, kedustaan dari orang-orang yang ingin merusak (syariat Islam) dan pentakwilan dari orang-orang yang bodoh”[6].

Imam Ibnul Qayiim berkata: “(Dalam hadits ini) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilmu agama yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa (dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala) akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya dari umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari setiap generasi, supaya ilmu agama ini tidak pudar dan hilang. Ini mengandung rekomendasi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi para ulama yang membawa ilmu yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dengannya (ilmu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[7].

Para ulama Ahli hadits menghabiskan waktu, tenaga dan hidup mereka untuk mempelajari, menghafal dan meneliti hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka menjaga kemurnian dan keotentikannya.
 Oleh karena itu, imam besar penghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Atbaa’ut taabi’iin yang terkenal, Abdullah bin al-Mubarak, ketika beliau ditanya tentang banyaknya hadits-hadits palsu yang tersebar di tengah kaum muslimin, beliau menjawab: “Para ulama yang menekuni hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (mencurahkan) hidup mereka untuk (meneliti dan menjelaskan) hadits-hadits tersebut”, kemudian beliau membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:

{إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya” (QS al-Hijr: 9)[8].

Mereka pantas untuk disebut sebagai makhluk yang khusus diciptakan Allah Ta’ala untuk menjaga kemurnian al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika memuji imam Yahya bin Ma’in: “Di sini ada seorang laki-laki (Yahya bin Ma’in) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan (khusus) untuk urusan ini (mempelajari dan meneliti hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan beliau menyingkap kedustaan orang-orang yang berdusta (dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[9].

Merekalah yang selalu membela kebenaran agama Islam dan menjaga kemurniaannya sampai di akhir jaman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Senantiasa ada segolongan dari umatku yang (membela dan) memenangkan kebenaran, tidak akan merugikan mereka orang yang meninggalkan mereka, sampai datangnya ketentuan Allah dalam keadaan mereka (tetap) seperti itu”[10].

Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘golongan yang selalu ditolong oleh Allah dalam membela kebenaran’ (ath-thaaifah al-manshuurah) dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah para ulama Ahli hadits, sebagaimana ucapan imam Abdullah bin al-Mubarak, imam Ahmad bin Hambal, imam ‘Ali bin al-Madini dan imam al-Bukhari, bahkan imam Ahmad bin Hambal berkata: “Kalau bukan yang dimaksud dengan ath-thaaifah al-manshuurah ini adalah Ahli hadits maka aku tidak tau siapa mereka”[11].

Imam al-Khatiib al-Baghdadi, ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata: “Sungguh Rabb semesta alam (Allah ‘Azza wa Jalla) telah menjadikan ath-thaaifah al-manshuurah (para ulama Ahli hadits) sebagai penjaga agama Islam dan Allah melindungi mereka dari tipu daya para penentang (kebenaran), karena (kuatnya) mereka (dalam) berpegang teguh dengan syariat Allah yang kokoh dan (dalam) mengikuti jejak para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan Tabi’in.

Kesibukan mereka adalah menghafal hadits-hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengarungi padang pasir dan tanah tandus, serta menempuh (perjalanan) darat dan laut rangka mencari/mengumpulkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak akan berpaling dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemikiran dan hawa nafsu manusia.

Mereka menerima (sepenuhnya) syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik ucapan maupun perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menjaga (kemurnian) sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menghafal dan menyebarkannya (kepada umat), sehingga mereka menjadikan kuat landasan sunnah (di tengah masyarakat), dan merekalah Ahli sunnah dan yang paling memahaminya.
Berapa banyak orang yang (berpemahaman) menyimpang (dari Islam) ingin mencampuradukkan syariat Islam dengan kebatilan, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala membela dan menjaga syariat-Nya dengan para ulama Ahli hadits.
Maka merekalah para penjaga tiang-tiang penopang syariat Islam, penegak perintah dan hukum-hukumnya. Ketika manusia berpaling dari membela syariat Islam, maka merekalah selalu membela dan mempertahankannya.

{أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}

“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang yang beruntung” (QS al-Mujaadilah: 22)[12].

Bentuk-bentuk penjagaan dan pembelaan para ulama Ahli hadits terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jaman para Sahabat radhiallahu ‘anhum, Tabi’in dan para ulama setelahnya

1- Jaman para Sahabat radhiallahu ‘anhum
A. Berhati-hati dan teliti dalam menerima hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Imam adz-Dzahabi mencantumkan biografi sahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddik radhiallahu ‘anhu dalam kitab beliau “Tadzkiratul huffaazh”[13] dan beliau menyifati sahabat yang mulia ini sebagai orang yang pertama kali berhati-hati dan sangat teliti dalam menerima hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau membawakan sebuah riwayat dari Qubaishah bin Dzuwaib bahwa ada seorang nenek yang datang menghadap Abu Bakar ash-Shiddik radhiallahu ‘anhu untuk meminta bagian dari harta warisan, maka Abu Bakar berkata: “Aku tidak mendapati ada bagian (warisan) untukmu dalam kitabullah (al-Qur’an) dan aku tidak mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan suatu (bagian warisan) untukmu”. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para Sahabat lainnya, lalu berdirilah al-Mugirah bin Sy’ubah radhiallahu ‘anhu dan beliau berkata: “Aku pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan (bagian) seperenam (dari warisan) untuk sorang nenek”. Maka Abu bakar bertanya kepada al-Mugirah: “Apakah ada (orang lain) bersamamu (yang menyaksikan hal tersebut)?”. Kemudian Muhammad bin Maslamah radhiallahu ‘anhu mempersaksiakn hal yang sama, sehingga Abu Bakar radhiallahu ‘anhu memberikan bagian tersebut kepada nenek tersebut”.
- Sahabat yang mulia ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu, imam adz-Dzahabi berkata tentang beliau: “Umar bin al-Khattab-lah yang memberikan teladan baik kepada para ulama Ahli hadits tentang ketelitian dalam menukil (hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan terkadang beliau tidak langsung menerima berita (hadits) dari seseorang jika beliau ragu”[14]. Kemudian imam adz-Dzahabi membawakan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu pernah mengunjungi ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu dan Abu Musa mengucapkan salam tiga kali dari balik pintu, karena tidak diizinkan (tidak dijawab) maka beliau pulang. Lalu ‘Umar radhiallahu ‘anhu mengutus seseorang kepadanya dan bertanya: “Kenapa kamu pulang?”. Abu Musa radhiallahu ‘anhu menjawab: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian mengucapkan salam tiga kali lalu tidak dijawab maka hendaknya dia pulang”. ‘Umar berkata: “Sungguh kamu harus membawa bukti (saksi) atas hal ini atau aku akan menghukummu”. Kemudian Abu Musa radhiallahu ‘anhu mendatangi para Sahabat lainnya radhiallahu ‘anhum dalam keadaan pucat mukanya (karena takut) dan beliau berkat: “Apakah ada di antara kalian yang mendengar (sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut)?”. Para Sahabat radhiallahu ‘anhum berkata: “Iya, kami semua mendengarnya”. Lalu mereka mengutus salah seorang dari mereka untuk menemui ‘Umar radhiallahu ‘anhu bersama Abu Musa radhiallahu ‘anhu, kemudian Sahabat tersebut radhiallahu ‘anhu menyampaikannya kepada ‘Umar radhiallahu ‘anhu[15].
- Imam Muslim membawakan riwayat dari Mujahid bin Jabr bahwa Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi (seorang tabi’in) pernah datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, lalu Busyair mulai menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”. Sedangkan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma tidak mendengarkan haditsnya dan tidak menoleh kepadanya. Maka Busyair pun berkata: “Wahai Ibnu ‘Abbas, kenapa aku melihatmu tidak mau mendengarkan haditsku? Aku menyampaikan padamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamu tidak mau mendengarnya?”. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menjawab: “Dulunya kami (para Sahabat radhiallahu ‘anhum) jika mendengar seseorang berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”, maka kami segera mengarahkan pandangan dan pendengaran kami kepadanya, akan tetapi ketika manusia telah menempuh cara-cara yang baik dan buruk (kadang jujur dan kadang berdusta) maka kami tidak mau menerima (hadits) dari mereka kecuali yang telah kami ketahui (kebenarannya)”[16].

B. Takut dalam menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali yang telah diyakini kebenaran penisbatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Dari Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Kalau bukan karena takut salah maka sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian hadits-hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan, hal ini (karena) aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka”[17].
- Dari asy-Sya’bi dan Muhammad bin Sirin bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu jika menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka wajah beliau akan berubah (karena takut) dan beliau berkata: “Demikianlah (sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau semakna dengannya”[18].
- Dari ‘Abdur Rahman bin Abi Laila beliau berkata: Kami berkata kepada Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu: “Sampaikan kepada kami hadits dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, beliau radhiallahu ‘anhu berkata: “Kami telah tua dan banyak lupa, sedangkan (menyampaikan) hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berat”[19].

2. Jaman para Tabi’in dan para ulama setelahnya
A. Menanyakan dan memeriksa isnad hadits (mata rantai para perawi sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Imam Muslim membawakan riwayat dari seorang ulama tabi’in yang mulia, Muhammad bin Sirin bahwa beliau berkata: “Dulunya para ulama Ahli hadits tidak bertanya tentang isnad hadits, tapi setelah terjadi fitnah (terbunuhnya sahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dan bermunculannya Ahlul bid’ah) para ulama Ahli hadits berkata (kepada orang yang menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam): “Sebutkan kepada kami nama-nama para perawimu”, kemudian mereka melihat (jika para perawi tersebut) Ahlus sunnah maka diterima haditsnya dan (jika para perawi tersebut) Ahlul bid’ah maka tidak diterima haditsnya”[20].

B. Meneliti keadaan dan sifat-sifat para perawi hadits yang berhubungan dengan kebaikan agama, kejujuran dan ketelitiannya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah yang dikenal dengan ilmu al-jarhu wat ta’diil.
Imam al-‘Iraqi berkata: “Hampir-hampir semua kitab rujukan ilmu hadits bersepakat (menjelaskan) bahwa pembicaraan tentang al-jarhu wat ta’diil (mengkritik dan memuji para perawi hadits) adalah perkara yang sejak dulu dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian oleh banyak dari para Sahabat radhiallahu ‘anhum, tabi’in dan para ulama setelah mereka”[21].
Dari imam ‘Amr bin ‘Ali al-Fallas beliau berkata: Aku pernah mendengar imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan berkata: “Aku pernah bertanya kepada (para imam Ahli hadits) Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Malik bin Anas dan Sufyan bin ‘Uyainah tentang seorang perawi yang tidak cermat dalam (meriwayatkan) hadits, kemudian ada orang lain yang bertanya kepadaku tentang perawi tersebut, (apa aku harus menjelaskan keadaannya)?”. Mereka menjawab: “(Iya), sampaikan kepadanya bahwa perawi tersebut tidak tidak cermat (dalam meriwayatkan hadits)”[22].

C. Melakukan rihlah (perjalanan jauh) untuk mengumpulkan dan meneliti hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam al-Bukhari berkata: “Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu telah melakukan perjalanan jauh selama sebulan (untuk menemui) ‘Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu dalam rangka (menanyakan) sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[23].
Imam Ibnu ash-Shalah menukil dari imam Ahmad, bahwa beliau ditanya: Apakah seorang (penuntut ilmu hadits) melakukan perjalanan untuk mencari (sanad) yang tinggi? Imam Ahmad menjawab: “Iya demi Allah, dengan sungguh-sungguh. Sungguh  imam Alqamah dan al-Aswad (dua ulama besar tabi’in yang tinggal di Irak) ketika sampai kepada mereka hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu, maka mereka tidak puas sampai mereka keluar (melakukan perjalanan jauh ke Madinah) untuk menemui ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan mendengarkan hadits tersebut (langsung) darinya”[24].

Penutup
Demikianlah gambaran tentang pembelaan dan penjagaan para ulama Ahli hadits terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari masa ke masa sampai di akhir jaman, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Contoh-contoh yang kami sebutkan hanya sebagian kecil dari bentuk-bentuk penjagaan dan pembelaan mereka terhadap sunnah. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa membalas kebaikan dan jasa-jasa mereka dengan pahala yang sempurna di sisi-Nya, menjaga mereka yang masih hidup dalam kebaikan dan merahmati mereka yang sudah wafat. Sesungguhnya Dia Ta’ala Maha Mendengar dan Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 19 Dzulhijjah 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc, M.A.


[1] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 429).
[2] Kitab “Ushuulus sunnah” (hal. 2).
[3] Kitab “ar-Raudhul baasim” (hal. 33).
[4] Lihat kitab “al-Hadiitsu hujjatun binafsihi fil ‘aqa-‘idi wal ahkaam” (hal. 22).
[5] Kitab “al-Ihkaam fi ushuulil ahkaam” (1/114).
[6] HR al-Baihaqi dalam “as-Sunanul kubra” (10/209), ath-Thabrani dalam “Musnadusy Syaamiyyiin” (1/344) dan imam-imam lainnya, dinyatakan shahih oleh imam Ahmad (lihat kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” 1/164), dikuatkan oleh imam Ibnul Qayyim (kitab “Thariiqul hijratain” hal. 522) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam “Misykaatul mashaabiih” (no. 248).
[7] Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/163).
[8] Dinukil oleh imam Ibnul Jauzi dalam kitab “al-Maudhuu’aat” (1/46) dan as-Suyuuthi dalam kitab “Tadriibur raawi” (1/282).
[9] Dinukil oleh imam al-Mizzi dalam kitab beliau “Tahdziibul kamaal” (31/556).
[10] HSR Muslim (no. 1920).
[11] Semuanya dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “ash-Shahiihah” (1/478).
[12] Kitab “Syarafu ashhaabil hadits” (hal. 31).
[13] Kitab “Tadzkiratul huffaazh”(1/2).
[14] Kitab “Tadzkiratul huffaazh”(1/6).
[15] Hadits ini lengkapnya terdapat dalam “Shahih al-Bukhari” (no. 5891) dan “Shahih Muslim” (no. 2153).
[16] HSR Muslim dalam muqaddimah “Shahih Muslim” (1/12).
[17] HR ad-Darimi (no. 235) dan Ahamad (3/172) dengan sanad yang shahih.
[18] HR ad-Darimi (no. 271), dalam sanadnya ada perawi yang lemah..
[19] HR Ibnu Majah (no. 25) dan Ahmad (4/370), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[20] Atsar riwayat imam Muslim dalam muqaddimah “Shahih Muslim” (1/15).
[21] Kitab “at-Taqyiid wal iidhaah” (hal. 440).
[22] Atsar riwayat imam Muslim dalam muqaddimah “Shahih Muslim” (1/16).
[23] Hadits tersebut adalah HR Ahmad (3/495) dan al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 970), dinyatakan hasan oleh imam al-Mundziri dan syaikh al-Albani (Shahih at-targib wat tarhib, no. 3608).
[24] Kitab “’Ulumul hadits” (hal. 223).


Sumber : http://manisnyaiman.com/ulama-salaf-benteng-kokoh-penjaga-sunnah/
READ MORE - Ulama Salaf, Benteng Kokoh Penjaga Sunnah

Keutamaan Membaca Surat al-Mulk

بسم الله الرحمن الرحيم

Keutamaan Membaca Surat al-Mulk

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « سُورَةٌ مِنَ الْقُرْآنِ ثَلاَثُونَ آيَةً تَشْفَعُ لِصَاحِبِهَا حَتَّى يُغْفَرَ لَهُ {تَبَارَكَ الَّذِى بِيَدِهِ الْمُلْكُ}. وفي رواية: فأخرجته من النار و أدخلته الجنة » حسن رواه أحمد وأصحاب السنن

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Satu surat dalam al-Qur’an (yang terdiri dari) tiga puluh ayat (pada hari kiamat) akan memberi syafa’at (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) bagi orang yang selalu membacanya (dengan merenungkan artinya) sehingga Allah mengampuni (dosa-dosa)nya, (yaitu surat al-Mulk): “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dalam riwayat lain: “…sehingga dia dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan membaca surat ini secara kontinyu[2], karena ini merupakan sebab untuk mendapatkan syafa’at dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla.
Hadits ini semakna dengan hadits lain dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Satu surat dalam al-Qur’an yang hanya (terdiri dari) tiga puluh ayat akan membela orang yang selalu membacanya (di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala) sehingga dia dimasukkan ke dalam surga, yaitu surat: “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan”[3].



Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Keutamaan dalam hadits ini diperuntukkan bagi orang yang selalu membaca surat al-Mulk dengan secara kontinyu disertai dengan merenungkan kandungannya dan menghayati artinya[4].
- Surat ini termasuk surat-surat al-Qur’an yang biasa dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum tidur di malam hari, karena agungnya kandungan maknanya[5].
- Sebagian dari ulama ahli tafsir menamakan surat ini dengan penjaga/pelindung dan penyelamat (dari azab kubur)[6], akan tetapi penamaan ini disebutkan dalam hadits yang lemah[7].
- al-Qur’an akan memberikan syafa’at (dengan izin Allah) bagi orang yang membacanya (dengan menghayati artinya) dan mengamalkan isinya[8], sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya bacaan al-Qur’an itu akan datang pada hari kiamat untuk memberi syafa’at bagi orang-orang yang membacanya (sewaktu di dunia)”[9].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


Kota Kendari, 22 Jumadal ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni


[1] HR Abu Dawud (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 2891), Ibnu Majah (no. 3786), Ahmad (2/299) dan al-Hakim (no. 2075 dan 3838), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim dan disepakati oleh imam adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[2] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/453).
[3] HR ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul ausath” (no. 3654) dan “al-Mu’jamush shagiir” (no. 490), dinyatakan shahih oleh al-Haitsami dan Ibnu hajar (dinukil dalam kitab “Faidhul Qadiir” 4/115) dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam “Shahiihul jaami’ish shagiir” (no. 3644).
[4] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (4/115).
[5] HR at-Tirmidzi (no. 2892) dan Ahmad (3/340), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam “ash-Shahiihah” (no. 585).
[6] Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (18/205).
[7] Lihat kitab “Dha’iifut targiibi wat tarhiib” (no. 887).
[8] Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (2/240).
READ MORE - Keutamaan Membaca Surat al-Mulk

Keutamaan Membaca Surat al-Ikhlas

بسم الله الرحمن الرحيم

KEUTAMAAN MEMBACA SURAH AL-IKHLAS

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّها لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ » رواه البخاري.

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an”[1].


Hadits yang agung ini menunjukkan tingginya kedudukan surah al-Ikhlas dan besarnya keutamaan orang yang membacanya, karena surah ini mengandung nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, sehingga orang yang membaca dan menghayatinya dengan seksama berarti dia telah mengagungkan dan memuliakan Allah ‘Azza wa Jalla[2]. Oleh karena itu, dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita tentang seorang shahabat radhiallahu ‘anhu yang senang membaca surah ini karena sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang dikandungnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sampaikanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya”[3].

keutamaan surat al-ikhlas 
Beberapa faidah penting yang dapat kita ambil dari hadits ini:
- Surah ini dinamakan surah al-Ikhlas karena mengandung tauhid (pengkhususan ibadah kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala semata-semata), sehingga orang yang membaca dan merenungkannya berarti telah mengikhlaskan agamanya untuk Allah Tabaraka wa Ta’ala semata. Atau karena Allah ‘Azza wa Jalla mengikhlaskan (mengkhususkan) surah ini bagi dari-Nya (hanya berisi nama-nama dan sifat-sifat-Nya) tanpa ada penjelasan lainnya[4].

- Surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an  karena pembahasan/kandungan al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: tauhid, hukum-hukum syariat Islam dan berita tentang makhluk, sedangkan surah al-Ikhlas berisi pembahasan tauhid[5].
- Makna sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an” adalah dalam hal ganjaran pahala, dan bukan berarti membacanya tiga kali cukup sebagai pengganti mambaca al-Qur’an[6].
- Hadits ini adalah salah satu dalil yang menunjukkan bahwa al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain dan satu surah dengan surah lainnya), jika ditinjau dari segi isi dan kandungannya[7].

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Pembahasan masalah ini harus diperinci dengan penjelasan berikut: jika ditinjau dari (segi) zat yang mengucapkan/berfirman (dengan al-Qur-an) maka al-Qur-an tidak berbeda-beda keutamaannya, karena zat yang mengucapkannya adalah satu, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun jika ditinjau dari (segi) kandungan dan pembahasannya maka al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain). Surat al-Ikhlash yang berisi pujian bagi Allah ‘Azza wa Jalla karena mengandung (penyebutan) nama-nama dan sifat-sifat Allah (tentu) tidak sama dari segi kandungannya dengan surat al-Masad (al-Lahab) yang berisi penjelasan (tentang) keadaan Abu Lahab.
Demikian pula al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain) dari segi pengaruhnya (terhadap hati manusia) dan kekuatan/ketinggian uslub (gaya bahasanya). Karena kita dapati di antara ayat-ayat al-Qur-an ada yang pendek tetapi berisi nasehat dan berpengaruh besar bagi hati manusia, sementara kita dapati ayat lain yang jauh lebih panjang, akan tetapi tidak berisi kandungan seperti ayat tadi”[8].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc., M.A.



[1] HSR al-Bukhari (no. 4726, 6267 dan 6939).
[2] Lihat kitab “Fathul Baari” (13/357).
[3] HSR al-Bukhari (no. 6940) dan Muslim (no. 813).
[4] Lihat kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/157).
[5] Lihat kitab “Fathul Baari” (9/61) dan ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/158).
[6] Lihat kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/157-158).
[7] Lihat keterangan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’ul fataawa” (17/211-212) dan imam Ibnul Qayyim dalam “Syifa-ul ‘aliil” (hal. 272).
[8] Kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/164-165).


Sumber : http://manisnyaiman.com/keutamaan-membaca-surat-al-ikhlas/
READ MORE - Keutamaan Membaca Surat al-Ikhlas

Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr



Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]

Dalam ayat lain disebutkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Allah juga berfirman.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18]

Begitu juga firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]

Dalam kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَأكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ اَفَرَاَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنَّ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدِاغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَهُ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban” [Al-Israa : 36]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُم ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ سَيْئًا وَأَنْ تَعتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّ قُواوَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَشْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta” [1]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَمَحَااَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِيْنَا هُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِيْنَا هُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِيْنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِيْنِاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِيْنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوِى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّ بُهُ
“Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba. Zina kaki adalah melangkah. (Dalam hal ini), hati yang mempunyai keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau mengurungkannya” [2]

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz.

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65 dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.


Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadits tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang. Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”.


Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :


Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya

Tanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadi

Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal

Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”

Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.


Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda
:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”

Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.


Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.


Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.


Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.


Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6477 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2988 [3] dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”

Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi wasiat Nabi kepada Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2616 yang sekaligus dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda:

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَ مَنَا خِرِهِِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?”

Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu’adz:

يَا نَبِّيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَا خَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ
“Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?”

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak dia akan menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang menanam Sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan”.


Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), “Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur semua urusannya”.


Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “ Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana sering saya dapati baik amalan-amalannya”.


Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya”.


Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وًِصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah, yang akhirnya berbunyi:

بِحَسْبِ امْرِيْ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسلِمَ كُلٌ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan orang muslim lainnya”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits no. 1739 ; begitu juga Muslim [4] dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah berkhutbah pada hara nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu, “Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari yang haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan apakah ini ?” Mereka menjawab, “Bulan yang haram”. Selanjutnya beliau bersabda:

فَإِنَّ دِمَا ئَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُم حَرَامٌ، كَحُرمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِ كُمْ هَذَا في شَهْرِ كُمْ هَذَا، فَأَعَادَهَا مِرَارًا، ثُمّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ : اللَّهُمَ هَلْ بَلَّغْتُ؟ اللَّهُمَ هَلْ بَلَّغْتُ؟
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi masing-masing kalian (merampasnya) sebagaimana haramnya ; hari, bulan dan negeri ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu) ?”

Ibnu Abbas mengomentari perkataan Nabi di atas, “Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk umatnya. Beliau berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal leher”.


Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2674 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِشْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لآَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”

Al-Hafidz Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65) mengomentari hadits:

إِذَا مَاتَ الْإنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ إِحْدَى ثَلاَثٍ ...
“Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali dari tiga perkara …dst”

Beliau berkata, “Orang yang membukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat akan mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari orang yang membaca, menulis dan mengamalkannya, berdasarkan hadits ini dan hadits yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau mengamalkannya, berdasarkan hadits,

مَنْ سَنَّ سُنَةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً
“Barangsiapa yang merintis perbuatan yang baik atau buruk, maka ….”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6505 dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,

إِنَّاللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Sesungguhnya Allah berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi”

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penerbit : Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004]

_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim hadits no. 1715. Hadits tentang tiga perkara yang dibenci ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Mughirah hadits no.2408 dan diriwayatkan juga oleh Muslim.
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6612 dan Muslim hadits no.2657. Lafaz di atas adalah yang terdapat dalam riwayat Muslim
[3]. Tetapi lafaz hadits tersebut adalah yang terdapat dalam riwayat muslim
[4]. Tetapi lafaz yang tersebut terdapat dalam riwayat Bukhari 

 Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3197/slash/0
READ MORE - Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik

- popular posts -

- followers -