Mengenal Para Ulama Pembaharu (Mujaddid) dalam Islam

 بسم الله الرحمن الرحيم

Dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا”
Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun.” [1]

Arti “memperbaharui (urusan) agama” adalah menghidupkan kembali dan menyerukan pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari petunjuk al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan manusia, yaitu dengan menyebarkan ilmu yang benar, mengajak manusia kepada tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan mereka untuk menjauhi perbuatan syirik dan bid’ah. [2]
Perhitungan akhir seratus tahun dalam hadits ini adalah dimulai dari waktu hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah. [3]
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “…Orang yang akan memperbaharui (urusan) agama…,” tidak menunjukkan bahwa mujaddid di setiap akhir seratus tahun hanya satu orang, tapi mungkin saja pada waktu tertentu lebih dari satu orang, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ibnu Hajar dan para ulama lainnya. [4]
Dalam hal ini, Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [5]
Para ulama telah menyebutkan nama-nama para imam ahlus sunnah yang memenuhi kriteria untuk disebut sebagai mujaddid (pembaharu) dalam Islam, berdasarkan pengamatan mereka terhadap sifat-sifat mulia para imam tersebut.
Dalam tulisan ini, kami akan menyebutkan beberapa di antara para imam tersebut, beserta sekelumit dari biografi mereka.
Pertama, Umar bin Abdil Aziz bin Marwan bin Hakam al-Qurasyi al-Umawi al-Madani
Beliau adalah khalifah yang tersohor dengan keshalihan dan keadilannya, amirul mukminin, imam tabi’in yang mulia, penghapal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 64 H dan wafat pada tahun 101 H.
Ibunya adalah cucu sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, namanya Hafshah bintu ‘Ashim bin Umar bin Khattab. [6]
Beliau diserupakan –dalam keadilan dan kelurusan akhlak– dengan kakek beliau Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, –dalam sifat zuhud– dengan Hasan al-Bashri, dan –dalam ketinggian ilmu– dengan Imam az-Zuhri. [7]
Imam asy-Syafi’i memuji beliau dengan mengatakan, “al-Khulafa’ ar-Rasyidun (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala) ada lima orang: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdil Aziz.” [8]
Para ulama ahlus sunnah telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) pertama dalam Islam. [9]
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/ memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, kami melihat (meneliti sejarah), maka (kami dapati pembaharu) pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah) adalah Umar bin Abdil Aziz, dan (pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua adalah Imam asy-Syafi’i.” [10]
Kedua, Imam asy-Syafi’i (Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin bin al-Abbas bin Utsman al-Muththalibi al-Qurasyi al-Makki)
Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), pembela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ahli fikih yang ternama, penghapal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [11]
Imam Qutaibah bin Sa’id memuji beliau, dengan mengatakan, “Kematian Imam Syafi’i berarti kematian sunnah Rasulullah.” [12]
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “(Kedudukan) Imam Syafi’i (di zamannya) adalah seperti matahari bagi bumi dan sebagai penyelamat bagi umat manusia.” [13]
Para ulama ahlus sunnah juga telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) kedua dalam Islam. [14]
Imam Ahmad berkata: “…(Pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah) adalah Imam asy-Syafi’i.” [15]
Imam Ibnu Hajar berkata, “Beliau adalah mujaddid (pembaharu) urusan agama Islam pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah).” [16]
Ketiga, Hasan al-Bashri (Abu Sa’id al-Hasan bin Abil Hasan Yasar al-Bashri)
Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, syaikhul Islam, sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahir pada tahun 22 H dan wafat 110 H. [17]
Beliau pernah disusui oleh Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan pernah didoakan kebaikan oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu agar diberi pemahaman dalam ilmu agama dan dicintai manusia. [18]
Imam Muhammad bin Sa’ad memuji beliau dengan mengatakan, “Beliau adalah seseorang yang berilmu (tinggi), menghimpun (berbagai macam ilmu), tinggi (kedudukannya), sangat terpercaya, sandaran dalam periwayatan hadits, dan ahli ibadah.” [19]
Beliau termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah). [20]
Keempat, Muhammab bin Sirin (Abu Bakr al-Anshari al-Bashri)
Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, syaikhul Islam, sangat wara’ (berhati-hati dalam masalah halal-haram), sangat luas ilmunya lagi sangat terpercaya, dan kokoh dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat pada tahun 110 H. [21]
Imam Abu ‘Awanah al-Yasykuri berkata, “Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar. Tidaklah seorang pun melihat beliau kecuali orang itu akan mengingat Allah.” [22]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah). [23]
Kelima, az-Zuhri (Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdillah bin Syihab az-Zuhri al-Qurasyi al-Madani)
Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, penghapal hadits yang utama, yang disepakati kemuliaan dan kecermatan hapalannya. Beliau wafat pada tahun 125 H. [24]
Imam Umar bin Abdil Aziz memuji beliau dengan mengatakan, “Tidak tersisa seorang pun (di zaman ini) yang lebih memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada az-Zuhri.” [25]
Imam Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Aku belum pernah melihat (seorang pun) yang lebih berilmu daripada beliau.” [26]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah). [27]
Keenam, Yahya bin Ma’in (Abu Zakaria al-Baghdadi)
Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli jarh wa ta’dil (penilaian terhadap para perawi hadits dalam bentuk pujian atau celaan) yang ternama, penghapal hadits yang utama, dan guru bagi para ulama ahli hadits. Lahir pada tahun 158 H dan wafat tahun 233 H. [28]
Imam Ahmad bin Hambal memuji beliau, dengan mengatakan, “Yahya bin Ma’in adalah orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan (khusus) untuk urusan ini (membela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), dengan (jalan) beliau menyingkap kedustaan para pendusta dalam hadits (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [29]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah). [30]
Ketujuh, Imam an-Nasa’i (Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan)
Beliau adalah imam besar, syaikhul Islam, penghapal dan kritikus hadits kenamaan, serta sangat terpercaya dalam meriwayatkannya. Lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H. [31]
Imam Abu Sa’id bin Yunus memuji beliau, dengan mengatakan, “Abu Abdirrahman an-Nasa’i adalah seorang imam (panutan), penghapal hadits, dan sangat terpercaya dalam meriwayatkannya.” [32]
Imam Abul Hasan ad-Daraquthni berkata, “Abu Abdirrahman an-Nasa’i lebih didahulukan (dalam pemahaman ilmu hadits) dibandingkan semua ulama hadits di zaman beliau.” [33]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun ketiga (hijriyah). [34]
Catatan penting:
1. Banyak imam besar Ahlus Sunnah yang terkenal dengan ketinggian ilmu dan pemahaman, serta kuat dalam menegakkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi mereka tidak dinobatkan oleh para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di zamannya. Padahal, mereka sangat pantas untuk itu, seperti imam Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh masa hidup mereka yang tidak bertepatan dengan waktu yang disebutkan dalam hadits di atas, dan ini sama sekali tidak mengurangi tingginya kedudukan dan kemuliaan mereka. [35]
2. Di antara para imam Ahlus Sunnah yang dinobatkan oleh sejumlah besar ulama Islam sebagai pembaharu dalam Islam di abad ke-12 Hijriyah adalah Imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi (wafat 1206 H) [36]. Dalam hal ini, syaikh yang mulia, Abdul Aziz bin Baz, berkata, “Di antara para imam (Ahlus Sunnah) yang mendapatkan petunjuk (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan da’i yang mengusahakan perbaikan (umat ini) adalah imam yang sangat dalam dan luas ilmunya, pembaharu ajaran Islam yang telah ditinggalkan (manusia) di abad ke-12 Hijriyah, dan penyeru kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali at-Tamimi al-Hambali, semoga Allah memperindah (menerangi) tempat peristirahannya dan memuliakannya di surga sebagai tempat menetapnya.” [37]
3. Demikian pula, yang disebut-sebut para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di abad ini, dua imam Ahlus Sunnah yang ternama: syaikh yang mulia, Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan syaikh yang mulia, Abdul aziz bin Abdullah bin Baz, semoga Allah merahmati semua ulama Ahlus Sunnah yang telah wafat dan menjaga mereka yang masih hidup.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 24 Rabi’ul Tsani 1431 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
===
Catatan kaki:
[1] HR. Abu Dawud (no. 4291), al-Hakim (no. 8592), dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 6527); dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, al-‘Iraqi, Ibnu Hajar (dinukil dalam kitab ’Aunul Ma’bud: 11/267 dan Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahadits ash-Shahihah, no. 599.
[2] Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/260.
[3] Ibid.
[4] Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/264.
[5] Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[6] Lihat kitab Tahdzibul Kamal: 21/432 dan Tadzkiratul Huffazh: 1/118.
[7] Lihat kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/119.
[8] Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/119.
[9] Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/260.
[10]Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[11]Lihat kitab Tahdzibul Kamal: 24/355, Siyaru A’lamin Nubala’: 10/5, dan Tadzkiratul Huffazh: 1/361.
[12]Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[13]Dinukil oleh Imam al-Mizzi dalam kitab Tahdzibul Kamal: 24/372.
[14]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/260.
[15]Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[16]Kitab Taqribut Tahdzib, hlm. 467.
[17]Lihat kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/71 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 160.
[18]Dinukil oleh Imam al-Mizzi dalam kitab Tahdzibul Kamal: 6/104.
[19]Dinukil oleh Imam al-Mizzi dalam kitab Tahdzibul Kamal: 6/104.
[20]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[21]Lihat kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/606, Tadzkiratul Huffazh: 1/77, dan Taqribut Tahdzib, hlm. 160.
[22]Kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/610. Dalam sebuah hadits shahih Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wali (kekasih) Allah adalah orang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat kepada Allah.” lihat ash-Shahihah, no. 1733.
[23]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[24]Lihat kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/108 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 506.
[25]Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/109.
[26]Ibid.
[27]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[28]Lihat kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 11/71 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 597.
[29]Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 11/80.
[30]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[31]Lihat kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 14/125 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 80.
[32]Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 14/133.
[33]Ibid: 14/131.
[34]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[35]Ibid: 11/263.
[36]Lihat kitab ’Aqidatusy Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab as-Salafiyyah: 1/18.
[37]Ibid: 1/19–20.

READ MORE - Mengenal Para Ulama Pembaharu (Mujaddid) dalam Islam

Qawa'id Fiqhiyah: Kaidah Pertama

بسم الله الرحمن الرحيم

 





"Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya, tidaklah memerintahkan sesuatu
kecuali yang murni mendatangkan mashlahat atau mashlahatnya dominan.
Dan tidaklah melarang sesuatu
kecuali perkara yang benar-benar rusak atau kerusakannya dominan."

Kaidah ini mencakup seluruh syari’at agama ini. Tidak ada sedikitpun hukum syari’at yang keluar dari kaidah ini, baik yang berkait dengan pokok maupun cabang-cabang agama ini, juga berhubungan dengan hak Allâh Ta'ala maupun yang berhubungan dengan hak para hamba-Nya.
Allâh Ta'ala berfirman:
Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat,
dan Allâh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

(Qs. An-Nahl/16:90)

Tidak ada satu keadilan pun, juga ihsan (perbuatan baik) dan menjalin silaturahim yang terlupakan, kecuali semuanya telah diperintahkan oleh Allâh Ta'ala dalam ayat yang mulia ini. Dan tidak ada sedikit pun kekejian dan kemungkaran yang berkait dengan hak-hak Allâh Ta'ala, juga kezhaliman terhadap makhluk dalam masalah darah, harta, serta kehormatan mereka, kecuali semuanya telah dilarang oleh Allâh Ta'ala. Allâh Ta'ala mengingatkan para hamba-Nya agar memperhatikan perintah-perintah-Nya, memperhatikan kebaikan dan manfaatnya lalu melaksanakannya. Allâh Ta'ala juga mengingatkan agar memperhatikan keburukan dan bahaya yang terdapat dalam larangan-larangan Nya, lalu menjauhinya.

Demikian pula firman Allâh Ta'ala:
Katakanlah: “Rabbku menyuruh menjalankan keadilan”.
Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat
dan sembahlah Allâh dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya.

(Qs. al-A’râf/7:29)

Ayat ini telah mengumpulkan pokok-pokok semua perintah Allâh Ta'ala, dan mengingatkan kebaikan perintah-perintah itu. Sebagaimana ayat selanjutnya menjelaskan pokok-pokok semua perkara yang diharamkan, dan memperingatkan akan kejelekannya.

Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak maupun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allâh dengan sesuatu
yang Allâh tidak menurunkan hujjah untuk itu
dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh
apa yang tidak kamu ketahui”.

(Qs. al-A’râf/7:33)
Dalam ayat yang lain, tatkala Allâh Ta'ala memerintahkan agar bersuci sebelum melaksanakan shalat, yaitu dalam firman-Nya, (yang artinya):
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.

(Qs. Al-Mâidah/5:6)
Dalam ayat ini, Allâh Ta'ala menyebutkan dua macam thaharah (bersuci). Yaitu thaharah dari hadats kecil dan hadats besar dengan menggunakan air. Dan jika tidak ada air atau karena sakit, maka bersuci dengan menggunakan debu.

Selanjutnya Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):
Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu
dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

(Qs al-Mâidah/5 : 6)
Dalam ayat ini, Allâh Ta'ala mengabarkan bahwa perintah-perintah-Nya termasuk jajaran kenikmatan terbesar di dunia ini, dan berkaitan erat dengan nikmat-Nya nanti di akhirat.

Perintah Allâh Ta'ala yang mashlahatnya seratus persen dan larangan Allâh dari sesuatu yang benar-benar rusak, dapat diketahui dari beberapa contoh berikut.

Sebagian besar hukum-hukum dalam syari’at ini mempunyai kemashlahatan yang murni. Keimanan dan tauhid merupakan kemashlahatan yang murni, kemashlahatan untuk hati, ruh, badan, kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan kesyirikan dan kekufuran, bahaya dan mafsadatnya murni, yang menyebabkan keburukan bagi hati, badan, dunia, dan akhirat.

Kejujuran mashlahatnya murni, sedangkan kedustaan sebaliknya. Namun, jika ada mashlahat yang lebih besar dari mafsadat yang ditimbulkan akibat kedustaan, seperti dusta dalam peperangan, atau dusta dalam rangka mendamaikan manusia, maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah perbuatan dusta seperti ini, dikarenakan kebaikannya atau mashlahatnya lebih dominan.

Demikian pula, keadilan mempunyai mashlahat yang murni. Sedangkam kezhaliman, seluruhnya adalah mafsadat. Adapun perjudian dan minum khamr, mafsadat dan bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya. Oleh karena itu, Allâh Ta'ala mangharamkannya.

Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.
Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar
dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

(Qs. al-Baqarah/2:219)
Jika ada mashlahat-mashlahat besar dari sebagian perkara yang mengandung unsur perjudian, seperti mengambil hadiah lomba yang berasal dari uang pendaftaran peserta dalam lomba pacuan kuda, atau lomba memanah, maka hal demikian ini diperbolehkan. Karena lomba-lomba ini mendukung untuk penegakan bendera jihad.

Adapun mempelajari sihir, maka sihir hanyalah mafsadat semata-mata. Sebagaimana firman Allâh Ta'ala, (yang artinya):
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya
dan tidak memberi manfaat.

(Qs. Al-Baqarah/2:102)

Demikian pula diharamkannya bangkai, darah, daging babi, dan semisalnya yang mengandung mafsadat dan bahaya. Jika mashlahat yang besar mengalahkan mafsadat akibat mengkonsumsi makanan yang diharamkan ini, seperti untuk mempertahankan hidup, maka makanan haram ini boleh dikonsumsi.

Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):
Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Qs al-Mâidah/5:3)

Pokok dan kaidah syari’ah yang agung ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa ilmu-ilmu modern sekarang ini, serta berbagai penemuan baru yang bermanfaat bagi manusia dalam urusan agama dan dunia mereka, bisa digolongkan ke dalam perkara yang diperintahkan dan dicintai Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya, sekaligus merupakan nikmat yang diberikan Allâh Ta'ala kepada para hamba-Nya, karena mengandung manfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan sebagai sarana pendukung.

Oleh karena itu, adanya telegram dengan berbagai jenisnya, industri-industri, penemuan-penemuan baru, hal-hal tersebut sangat sesuai dengan implementasi kaidah ini. Perkara-perkara ini, ada yang masuk kategori sesuatu yang diwajibkan, ada yang sunnah, dan ada yang mubah, sesuai dengan manfaat dan amal perbuatan yang dihasilkannya. Sebagaimana perkara-perkara ini juga bisa dimasukkan dalam kaidah-kaidah syar’iyah lainnya yang merupakan turunan dari kaidah ini.

___________
Kitab rujukan:
al-Qawâ’id wa al-Ushul al-Jâmi’ah wa al-Furûq wa at-Taqâsiim al-Badi’at an-Naafi’at
Karya: Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa'di
Tahqiq: Prof. Dr. Khalid bin 'Ali al-Musyaiqih
Cetakan: Dar al-Wathan


Sumber :
(Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/Rabi'uts-Sani 1429H/April 2008M)
READ MORE - Qawa'id Fiqhiyah: Kaidah Pertama

Mengapa Wanita Harus Berhijab?

بسم الله الرحمن الرحيم




Pertanyaan ini sangat penting namun jawabannya justru jauh lebih penting. Satu pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang cukup panjang. Jilbab atau hijab merupakan satu hal yang telah diperintahkan oleh Sang Pembuat syariat. Sebagai syariat yang memiliki konsekuensi jauh ke depan, menyangkut kebahagiaan dan kemashlahatan hidup di dunia dan akhirat. Jadi, persoalan jilbab bukan hanya persoalan adat ataupun mode fashion. Jilbab adalah busana universal yang harus dikenakan oleh wanita yang telah mengikrarkan keimanannya. Tak peduli apakah ia muslimah Arab, Indonesia, Eropa ataupun Cina. Karena perintah mengenakan hijab ini berlaku umum bagi segenap muslimah yang ada di setiap penjuru bumi.

Berikut kami ulas sebagian jawaban dari pertanyaan di atas:

Pertama : Sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
Ketaatan merupakan sumber kebahagian dan kesuksesan besar di dunia dan akhirat. Seseorang tidak akan merasakan manisnya iman manakala ia enggan merealisasikan,mengaplikasikan serta melaksanakan segenap perintah Allah dan RasulNya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
"Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar". [al-Ahzab:71]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ذَاقَ طَعْمَ الإِيماَنِ مَنْ رَضِيَ بالله رَباًّ وَبالإسْلامِ دِيْناً وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلًا
"Sungguh akan merasakan manisnya iman, seseorang yang telah rela Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul utusan Allah." [HR. Muslim]

Kedua : Pamer aurat dan keindahan tubuh merupakan bentuk maksiat yang mendatangkan murka Allah dan RasulNya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
"Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." [al-Ahzab:36].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافىً إلاَّ المُجَاهِرُن
"Setiap umatku (yang bersalah) akan dimaafkan, kecuali orang yang secara terang-terangan (berbuat maksiat)." [Muttafaqun alaih]

Sementara wanita yang pamer aurat dan keindahan tubuh sama artinya dia telah berani menampakkan kemaksiatan secara terang-terangan.

Ketiga : Sesungguhnya Allah memerintahkan hijab untuk meredam berbagai macam fitnah (kerusakan).

Jika berbagai macam fitnah redup dan lenyap, maka masyarakat yang dihuni oleh kaum wanita berhijab akan lebih aman dan selamat dari fitnah. Sebaliknya, masyarakat yang dihuni oleh wanita yang gemar bertabarruj (berdandan seronok), pamer aurat dan keindahan tubuh, sangatlah rentan terhadap ancaman berbagai fitnah dan pelecehan seksual serta gejolak syahwat yang membawa malapetaka dan kehancuran yang sangat besar. Jasad yang bugil jelas akan memancing perhatian dan pandangan berbisa. Itulah tahapan pertama bagi penghancuran dan pengrusakan moral dan peradaban sebuah masyarakat.

Keempat : Tidak berhijab dan pamer perhiasan akan mengundang fitnah bagi laki-laki.

Seorang wanita apabila memamerkan bentuk tubuh dan perhiasannya di hadapan laki-laki non mahram, jelas akan mengundang perhatian kaum laki-laki hidung belang dan serigala berbulu domba. Jika ada kesempatan mereka pasti akan memangsa dengan ganas laksana singa sedang kelaparan.
Seorang penyair berkata,

نظرة فإبتسامة فسلام * فكلام فموعد فلقاء
"Berawal dari pandangan lalu senyuman kemudian salam disusul pembicaraan lalu berakhir dengan janji dan pertemuan".
Kelima : Seorang wanita muslimah yang menjaga hijab, secara tidak langsung ia berkata kepada semua kaum laki-laki, “Tundukkanlah pandanganmu, aku bukan milikmu dan kamu juga bukan milikku. Aku hanya milik orang yang dihalalkan Allah bagiku. Aku orang merdeka yang tidak terikat dengan siapapun dan aku tidak tertarik dengan siapapun karena aku lebih tinggi dan jauh lebih terhormat dibanding mereka.”

Adapun wanita yang bertabarruj atau pamer aurat dan menampakkan keindahan tubuh di depan kaum laki-laki hidung belang, secara tidak langsung ia berkata, “Silakan anda menikmati keindahan tubuhku dan kecantikan wajahku. Adakah orang yang mau mendekatiku? Adakah orang yang mau memandangku? Adakah orang yang mau memberi senyuman kepadaku? Ataukah ada orang yang berseloroh, “Aduhai betapa cantiknya dia?”. Mereka berebut menikmati keindahan tubuhnya dan kecantikan wajahnya hingga mereka pun terfitnah.

Manakah di antara dua wanita di atas yang lebih merdeka? Jelas, wanita yang berhijab secara sempurna akan memaksa setiap lelaki untuk menundukkan pandangan mereka dan bersikap hormat ketika melihatnya, hingga mereka menyimpulkan bahwa dia adalah wanita merdeka, bebas dan sejati.

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan hikmah di balik perintah mengenakan hijab dengan firmanNya:

 ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
"Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih." [al-Ahzab : 59]

Wanita yang menampakkan aurat dan keindahan tubuh serta kecantikan parasnya, laksana pengemis yang merengek-rengek untuk dikasihani. Tanpa sadar mereka rela menjadi mangsa kaum laki-laki bejat dan rusak. Dia menjadi wanita terhina, terbuang, murahan dan kehilangan harga diri dan kesucian. Dan dia telah menjerumuskan dirinya dalam kehancuran dan malapetaka hidup.

SYARAT-SYARAT HIJAB

Hijab sebagai bagian dari syariat islam, memiliki batasan-batasan jelas. Para ulama pembela agama Allah telah memaparkan dalam tulisan-tulisan mereka seputar kriteria hijab. Setiap mukminah hendaknya memperhatikan batasan syariat berkaitan dengan hijab ini. Menjadikan Kitabullah dan Sunnah NabiNya sebagai dasar rujukan dalam beramal, serta tidak berpegang kepada pendapat-pendapat menyimpang dari para pengekor hawa nafsu. Dengan demikian tujuan disyariatkanya hijab dapat terwujud, bi’aunillah.

Diantara syarat-syarat hijab antara lain:

Pertama : Hendaknya menutup seluruh tubuh dan tidak menampakkan anggota tubuh sedikitpun selain yang dikecualikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّمَاظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
"Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminat, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka." [an-Nuur:31]

Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا {59}* لَّئِن لَّمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لاَيُجَاوِرُونَكَ فِيهَآ إِلاَّ قَلِيلاً
"Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang." [al-Ahzab : 59].

Kedua : Hendaknya hijab tidak menarik perhatian pandangan laki-laki bukan mahram. Agar hijab tidak memancing pandangan kaum laki-laki maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

- Hendaknya hijab terbuat dari kain yang tebal tidak menampakkan warna kulit tubuh.

- Hendaknya hijab tersebut longgar dan tidak menampakkan bentuk anggota tubuh.
- Hendaknya hijab tersebut bukan dijadikan sebagai perhiasan bahkan harus memiliki satu warna bukan berbagai warna dan motif.
- Hijab bukan merupakan pakaian kebanggaan dan kesombongan.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
من لبس ثوب شهرة في الدنيا ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة ثم ألهب فيه النار.
"Barangsiapa yang mengenakan pakaian kesombongan di dunia maka Allah akan mengenakan pakaian kehinaan nanti pada hari kiamat kemudian ia dibakar dalam Neraka”. [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan hadits ini hasan]

- Hendaknya hijab tersebut tidak diberi parfum atau wewangian. Dasarnya adalah hadits dari Abu Musa al-Asy’ary radhiyallahu 'anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّماَ امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَليَ قَوْمٍ لِيَجِدوُا رِيْحَهَافهي زَانِيَةٌ.
"Siapapun wanita yang mengenakan wewangian lalu melewati segolongan orang agar mereka mencium baunya, maka ia adalah wanita pezina." [HR Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi, dan hadits ini Hasan]

Ketiga : Hendaknya pakaian atau hijab yang dikenakan tidak menyerupai pakaian laki-laki atau pakaian wanita kafir. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
"Barangsiapa yang menyerupai kaum maka dia termasuk bagian dari mereka". [HR. Ahmad dan Abu Daud]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutuk laki-laki yang mengenakan pakaian wanita serta mengutuk wanita yang berpakaian seperti laki-laki. [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah, dan hadits ini shahih].

Catatan :
Syaikh Albani dalam kitabnya Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah Fil Kitab Was Sunnah mengatakan, menutup wajah adalah sunnah hukumnya (tidak wajib) akan tetapi yang memakainya mendapat keutamaan. Wallahu a’lam

Tulisan ini saya tujukan kepada saudari-saudariku seiman yang sudah berhijab agar lebih memantapkan hijabnya hanya untuk mencari wajah Allah. Juga bagi mereka yang belum berhijab agar bertaubat dan segera memulainya sehingga mendapat ampunan dari Allah Azza wa Jalla.

Wallahu waliyyut taufiq
(Ummu Ahmad Rifqi )

Maraji’:
- al-Afrah, Ahmad bin Abdul Aziz Hamdani.
- Tanbihaat Ahkaami Takhtasu Bil Mukminaat, Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan.
- Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah Fil Kitabi Was Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.



[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VII/1424H/2003 Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] 
 
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/2916/slash/0
READ MORE - Mengapa Wanita Harus Berhijab?

Berangkatnya Wanita Muslimah Ke Masjid

 
Oleh
al-Lajnah ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan
:
al-Lajnah ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Pria itu dilahirkan sebagai anak Kristiani kemudian ia masuk Islam dan diikuti oleh isterinya pula, suatu hari Jum’at ketika ia pergi ke masjid bersama isterinya, seseorang berkata ; “Sesungguhnya seorang wanita muslimah dilarang masuk ke dalam masjid”, maka pria itu mendatangi imam masjid dan bertanya : “Mengapa wanita muslimah tidak boleh masuk ke dalam masjid?” Imam masjid itu menjawab : “Karena tidak semua wanita muslimah dalam keadaan suci, bahkan seluruh wanita muslimah di Makkah al-Mukarramah tidak masuk ke dalam masjid-masjid karena hal itu tidak diizinkan bagi mereka”. Pria itu membacakan kepada sang imam surat al-Jumu’ah ayat 9 yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli”, Lalu pria itu bertanya : “Apakah hal ini benar?” dan ini termasuk, ia menyebutkan bahwa kaum wanita Kristiani melaksanakan ibadah di dalam gereja, tapi mengapa di haramkan bagi wanita muslimah untuk masuk ke dalam masjid? Ia mengharapkan jawaban tentang masalah ini agar dapat menerangkan kepada kaum muslimin.

Jawaban
:
Boleh bagi wanita muslimah untuk melaksanakan shalat di dalam masjid-masjid, dan bagi suaminya tidak boleh melarang isterinya jika ia meminta izin untuk pergi ke masjid selama isterinya tetap menutup aurat dan tidak menampakkan bagian badannya yang diharamkan bagi orang asing untuk melihatnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

Artinya : "Jika para isteri kalian minta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid maka izinkanlah mereka."


Dalam riwayat lain disebutkan


Artinya : "Janganlah kalian melarang mereka untuk berada di dalam masjid jika mereka minta izin kepada kalian."


Maka berkata Bilal –salah seorang anak Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma- : "Demi Allah kami pasti akan melarang (mereka ke masjid)", maka Abdullah berkata : "Aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan itu tapi (mengapa malah) engkau berkata : "Kami pasti akan melarang mereka".


Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.


Jika wanita itu tidak menutup aurat hingga nampak bagian tubuhnya yang diharamkan bagi pria asing untuk melihatnya, atau wanita itu bersolek dan menggunakan wewangian, maka tidak boleh baginya untuk keluar rumah dalam kondisi seperti ini, apalagi mendatangi masjid serta melaksanakan shalat di dalamnya, karena hal itu akan menimbulkan fitnah, Allah Subhanahu wa Taala berfirman,


Artinya : "Katakanlah kepada wanita beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memlihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah merekla menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan, kecuali kepada suami mereka…" [An-Nur : 31]


Artinya : "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min : "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [Al-Ahzab : 59]


Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Zainab ats-Tsaqafiah menceritakan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,


Artinya : "Jika seorang wanita di antara kalian mengikuti shalat Isya (di masjid) maka janganlah ia berdandan malam itu".


Dalam riwayat lain disebutkan,


Artinya : "Jika seorang wanita di antara kalian datang ke masjid maka janganlah ia menyentuh (menggunakan) pewangi."


Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.


Dan dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bahwa para isteri shahabat melaksanakan shalat Shubuh berjama’ah, mereka menutupi tubuhnya dengan kain-kain hingga tidak seorangpun mengenali mereka. Dalam hadits lain pun telah disebutkan bahwa Amrah binti Abdurrahman berkata ; "Aku mendengar Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : "Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam melihat apa yang telah terjadi pada kaum wanita, tentulah beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaimana dilarangnya kaum wanita bani Israil". Ditanyakan kepada Amrah : "Kaum wanita bani Israil dilarang pergi ke masjid?" Amrah menjawab : "Ya". Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.


Nash-nash ini dengan jelas menunjukkan bahwa wanita muslimah jika ia konsisten dengan norma Islam dalam berpakaian dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah, yang dapat memperdayakan orang-orang yang lemah imannya dengan berbagai hiasan yang menggoda, maka tidak ada larangan baginya untuk shalat di masjid. Sebaliknya, jika wanita itu dalam keadaan yang dapat menggoda orang-orang yang cenderung kepada keburukan atau menimbulkan fitnah terhadap orang yang di dalam hatinya terdapat keraguan, maka wanita itu akan dilarang masuk ke dalam masjid, bahkan dilarang baginya untuk keluar dari rumahnya serta menghindari pertemuan-pertemuan umum.


Adapun mengenai kaum wanita di Makkah, mereka tidak ada yang diperkenankan untuk masuk ke dalam masjid-masjid, maka ini adalah tidak benar, yang benar adalah bahwa dibolehkan bagi mereka masuk ke dalam masjid-masjid bahkan di bolehkan bagi mereka masuk ke dalam masjidil Haram serta melakukan shalat jama’ah di dalamnya, hanya saja mereka diberikan tempat khusus agar tidak bercampur dengan kaum pria dalam melaksanakan shalat.

Wallahu muwaffiq.

 
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta VII/330-332 no. 873]



[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq] 
 
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/2128/slash/0
READ MORE - Berangkatnya Wanita Muslimah Ke Masjid

- popular posts -

- followers -