Tauhid Uluhiyyah

Oleh
al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
 


Tauhid Uluhiyyah
[1] dikatakan juga Tauhiidul ‘Ibaadah yang berarti mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (meminta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan), dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya, dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah.

Sungguh, Allah tidak akan ridha jika dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Apabila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada syirkun akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya. [Lihat QS. An-Nisaa: 48, 116][2]


Al-ilaah artinya al-ma'luuh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.


Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang diibadahi dengan benar melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqarah: 163]

Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (wafat th. 1376 H) berkata: "Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, maupun Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. Dia (Allah) tidak boleh disekutu-kan dengan seorang pun dari makhluk-Nya."[3]


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain-Nya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai Lata, ‘Uzza dan Manat yang disebut sebagai tuhan oleh kaum Musyrikin:

إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya...” [An-Najm: 23]

Setiap sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bathil, dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang bathil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” [Al-Hajj: 62]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf Alaihissallam, yang berkata kepada kedua temannya di penjara:

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
“Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu...” [Yusuf: 39-40]

Tauhid Uluhiyyah merupakan inti dakwah para Nabi dan Rasul عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ , dari Rasul yang pertama hingga Rasul terakhir, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu...’” [An-Nahl: 36]

Dan firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) selain Aku, maka ibadahilah olehmu sekalian akan Aku.’” [Al-Anbiyaa’: 25]

Semua Rasul عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ memulai dakwah mereka kepada kaumnya dengan tauhid Uluhiyyah, agar kaum mereka beribadah dengan benar hanya kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala saja.


Seluruh Rasul berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja.[4]


Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَأَرْسَلْنَا فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Lalu Kami utus kepada mereka, seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata): ‘Sembahlah Allah olehmu sekalian, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq selain-Nya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?’” [Al-Mukminuun: 32]

Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dua bukti:[5]


Bukti pertama: Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, serta tidak dapat menghidupkan dan mematikan.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنْفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُورًا
“Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) suatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” [Al-Furqaan: 3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ
“Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’ Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at...” [Saba’: 22-23]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri adalah buatan manusia. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” [Al-A’raaf: 191-192]

Apabila keadaan tuhan-tuhan itu demikian, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan zhalim apabila menjadikan mereka sebagai ilah (sesembahan) dan tempat meminta pertolongan.


Bukti kedua: Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, Yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dia-lah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi dari adzab-Nya. Ini mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan) sebagaimana mereka mengesakan Rububiyyah (ketuhanan) Allah.


Tauhid Rububiyyah mengharuskan adanya konsekuensi untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyyah (beribadah hanya kepada Allah saja).


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai manusia, baribadahlah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqarah: 21-22]

Tauhid Rububiyyah mengharuskan adanya tauhid Uluhiyyah.


Allah memerintahkan kita untuk bertauhid Uluhiyyah, yaitu menyembah dan beribadah hanya kepada-Nya. Dia Subhanahu wa Ta'ala menunjukkan dalil kepada mereka dengan tauhid Rububiyyah, yaitu penciptaan-Nya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, diturunkannya hujan, ditumbuhkannya tumbuh-tumbuhan, dikeluarkannya buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba. Maka, sangat tidak pantas bagi kita jika menyekutukan Allah dengan selain-Nya; dari benda-benda ataupun orang-orang yang mereka sendiri mengetahui bahwa ia tidak bisa berbuat sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya.


Maka, jalan fitrah untuk menetapkan tauhid Uluhiyyah adalah berdasarkan tauhid Rububiyyah. Karena manusia pertama kalinya sangat bergantung kepada asal kejadiannya, sumber kemanfaatan dan kemudharatannya. Setelah itu berpindah kepada cara-cara bertaqarrub kepada-Nya, cara-cara yang bisa membuat Allah ridha serta menguatkan hubungan antara dirinya dengan Rabb-nya. Maka, tauhid Rububiyyah adalah pintu gerbang dari tauhid Uluhiyyah. Karena itu Allah berhujjah atas orang-orang musyrik dengan cara ini.


Allah Ta’ala berfirman:

ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu adalah Allah, Rabb-mu; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka beribadahlah kepada-Nya …” [Al-An’aam: 102]

Dia berdalil dengan tauhid Rububiyyah-Nya atas hak-Nya untuk disembah. Tauhid Uluhiyyah inilah yang menjadi tujuan dari penciptaan manusia.


Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzaariyaat: 56]

Arti لِيَعْبُدُوْنِ “Agar mereka menyembah-Ku,” adalah: “Mentauhidkan-Ku dalam ibadah.” Seorang hamba tidaklah menjadi Muwahhid hanya dengan mengakui tauhid Rububiyyah semata, tetapi ia harus mengakui tauhid Uluhiyyah serta mengamalkannya. Kalau tidak, maka sesungguhnya orang musyrik pun mengakui tahuid Rububiyyah, tetapi hal ini tidak membuat mereka masuk dalam Islam, bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi mereka. Padahal mereka mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta, Pemberi rizki, Yang menghidupkan dan mematikan.


Di antara kekhususan Ilahiyah adalah kesempurnaan-Nya yang mutlak dalam segala segi, tidak ada cela atau kekurangan sedikit pun. Ini mengharuskan semua ibadah mesti tertuju kepada-Nya; pengagungan, penghormatan, rasa takut, do’a, pengharapan, taubat, tawakkal, minta pertolongan dan penghambaan dengan rasa cinta yang paling dalam, semua itu wajib secara akal, syara’ dan fitrah agar ditujukan khusus hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, tidak kepada selain-Nya.[6]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini merujuk pada kitab Syarah Ushuulil Iimaan (hal. 21-23) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 36) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, dan Nuurut Tauhiid wa Zhulumaatusy Syirki (hal. 17-18) oleh Dr. Wahf bin ‘Ali bin Sa’id al-Qahthani.
[2]. Lihat Aqiidatut Tauhiid (hal. 36) oleh Dr. Shalih al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid dan al-Ushuuluts Tsalaatsah beserta syarahnya.
[3]. Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 63), cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1420 H.
[4]. Sebagaimana perkataan Nabi Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. Lihat Al-Qur-an pada surat al-A’raaf: 65, 73 dan 85.
[5]. Lihat Syarah Ushuulil Iimaan (hal. 21-23).
[6]. Diringkas dari ‘Aqiidatut Tauhiid (hal.32-34) oleh Dr. Shalih al-Fauzan. 


Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3264/slash/0
READ MORE - Tauhid Uluhiyyah

Pilar-Pilar Ibadah dalam Islam

بسم الله الرحمن الرحيم
 
Oleh
al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Ahlus Sunnah wal Jama'ah sepakat bahwa manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk beribadah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya serta meneladani Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, setiap Muslim dan Muslimah harus mengetahui hakikat ibadah yang sebenarnya agar amalan yang dikerjakannya diterima dan diberikan ganjaran kebaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.


A. Definisi Ibadah

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sendangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.


2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.


3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah 'Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Inilah definisi yang paling lengkap.


Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja' (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyyah qalbiyyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyyah qalbiyyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.


Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia.


Allah Ta'ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah 'Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah 'Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari'atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi' (pelaku bid'ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari'atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).


B. Pilar-pilar 'Ubudiyyah yang Benar

Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja' (harapan).

Rasa cinta harus dibarengi dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja'. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” [Al-Maaidah: 54]
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Sedangkan orang-orang yang beriman mereka sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo'a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.” [Al-Anbiya': 90]

Sebagian Salaf berkata[1]: “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta, maka ia adalah zindiq [2], barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan raja', maka ia adalah murji' [3]. Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [4]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja', maka ia adalah mukmin muwahhid.”


C. Syarat Diterimanya Ibadah

Ibadah adalah perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari'atkan kecuali berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari'atkan berarti bid'ah mardudah (bid'ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [5]

Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa benar kecuali dengan adanya dua syarat:


1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.


2. Ittiba', sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.


Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas dalam beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari'atnya dan meninggalkan bid'ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan pada diri mereka tidak ada rasa takut dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
أَسْلَمَ وَجْهَهُ “Menyerahkan diri,” artinya memurnikan ibadah kepada Allah. وَهُوَ مُحْسِنٌ “Berbuat kebajikan,” artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari'atkan, tidak dengan bid'ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“... Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasuulullaah.


Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid'ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid'ah itu sesat.[6]


Ibadah di dalam Islam tidak disyari'atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari'atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.


Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa, membersihkan hati, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusia.
 


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-‘Ubuudiyyah (hal. 161-162) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi, Maktabah Daarul Ashaalah, th. 1416 H.
[2]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[3]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[4]. Haruriy adalah orang dari golongan Khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[5]. HR. al-Bukhari (no. 2697), Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[6]. Lihat al-‘Ubuudiyyah (hal. 221-222) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq: ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid. 


Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3261/slash/0
READ MORE - Pilar-Pilar Ibadah dalam Islam

Inilah Telaga yang Selalu Dinanti


بسم الله الرحمن الرحيم




Iman kepada hari Akhir/hari kemudian, yang berarti mengimani semua peristiwa yang diberitakan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terjadi setelah kematian, adalah salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan kebenaran agama-Nya.
Bahkan karena tingginya kedudukan iman kepada hari akhir, Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam banyak ayat al-Quran sering menggandengkan antara iman kepada-Nya dan iman kepada hari akhir. Hal ini dikarenakan, orang yang tidak beriman kepada hari akhir maka tidak mungkin dia beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sebab orang yang tidak beriman kepada hari akhir dia tidak akan mengerjakan amal shalih, karena seseorang tidak akan mengerjakan amal shalih, kecuali dengan mengharapkan balasan kemuliaan dan karena takut siksaan-Nya pada hari pembalasan kelak.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan sifat orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhir dalam firman-Nya,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلا الدَّهْرُ
Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa (waktu).” (Qs. al-Jaatsiyah: 24)[1].
Kewajiban mengimani keberadaan telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara perkara yang wajib diimani sehubungan dengan iman kepada hari akhir adalah keberadaan al-haudh (telaga) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kemuliaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pada hari Kiamat nanti orang-orang yang beriman dan mengikuti petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu di dunia akan mendatangi dan meminum air telaga yang penuh kemuliaan tersebut, semoga Allah ‘Azza wa Jalla memudahkan kita untuk meraih kemuliaan tersebut, amin.
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “(Termasuk landasan pokok Islam adalah kewajiban) mengimani (keberadaan) telaga milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Kiamat, yang nanti akan didatangi oleh umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam… sebagaimana yang disebutkan dalam banyak hadits yang shahih (dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”[2]
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “al-Haudh (telaga) yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk diminum (airnya) oleh umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari Kiamat nanti) adalah haq (benar).”[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menjelaskan perkara-perkara yang wajib diimani pada hari Kiamat, beliau berkata[4], “Pada hari Kiamat, (ada) telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan didatangi (oleh umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam)…barangsiapa yang meminum (air) telaga tersebut, maka dia tidak akan merasakan haus lagi selamanya.”[5]
Imam an-Nawawi rahimahullah mencantumkan hadits-hadits dalam Shahih Imam Muslim yang menyebutkan tentang telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bab: “Penetapan (keberadaan) telaga Nabi kita (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti)….”[6]
Dalil-dalil yang menjelaskan keberadaan telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ini banyak sekali, bahkan mencapai derajat mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan sehingga tidak mungkin diingkari kebenarannya).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Penjelasan tentang telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – semoga Allah memudahkan kita meminum dari telaga tersebut pada hari Kiamat – (yang disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah dikenal dan (diriwayatkan) dari banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang berkeras kepala menolak dan mengingkari keberadaan telaga ini….”[7]
Senada dengan ucapan di atas, imam Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah menjelaskan, “Hadits-hadits (shahih) yang menyebutkan (keberadaan) telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai derajat mutawatir, diriwayatkan oleh lebih dari tiga puluh orang sahabat radhiallahu ‘anhum (dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)….”[8]
Di antara hadits-hadits tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, setiap Nabi 'alaihimussalam memiliki telaga (pada hari kiamat nanti), dan mereka saling membanggakan siapa di antara mereka yang paling banyak orang yang mendatangi telaganya (dari umatnya), dan sungguh aku berharap (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), bahwa akulah yang paling banyak orang yang mendatangi (telagaku).”[9]
Juga sabda beliau dalam hadits lain, “Sesungguhnya, aku akan berada di depan kalian (ketika mendatangi telaga pada hari kiamat nanti) dan aku akan menjadi saksi bagi kalian, demi Allah, sungguh aku sedang melihat telagaku saat ini.[10]
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, aku akan berada di depan kalian ketika mendatangi telaga (pada hari kiamat nanti), barangsiapa yang mendatanginya maka dia akan meminum airnya, dan barangsiapa yang meminumnya maka dia tidak akan merasakan haus lagi selamanya.”[11]
Gambaran tentang telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih
- Barangsiapa yang meminum air telaga tersebut, maka dia tidak akan merasakan haus lagi selamanya, sebagaimana hadits yang tersebut di atas.
- Sumber air telaga tersebut adalah sungai al-Kautsar di surga yang Allah Subhanahu wa Ta’ala peruntukkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah kalian mengetahui apa al-Kautsar itu? Para sahabat menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahuinya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya al-Kautsar adalah sungai yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan kepadaku, padanya terdapat banyak kebaikan, dan (airnya akan mengalir ke) telagaku yang akan didatangi oleh umatku pada hari Kiamat (nanti)….’”[12]
Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dialirkan pada telaga itu dua saluran air yang (bersumber) dari (sungai al-Kautsar) di surga….”[13]
- Adapun gambaran air telaga tersebut adalah sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Airnya lebih putih dari susu dan baunya lebih harum dari (minyak wangi) misk (kesturi).[14] Dalam hadits lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan (rasanya) lebih manis dari madu.”[15]
- Gayung/timba untuk mengambil air telaga tersebut sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gayung-gayungnya adalah seperti bintang-bintang di langit.”[16] Artinya: jumlahnya sangat banyak dan berkilauan seperti bintang-bintang di langit[17].
- Bentuk telaga tersebut adalah persegi empat sama sisi[18], sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang shahih[19].
Siapakah orang-orang yang terpilih mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selalu mengikuti petunjuk yang beliau sampaikan, adapun orang-orang yang berpaling dari petunjuk beliau sewaktu di dunia, maka mereka akan diusir dari telaga tersebut.[20]
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga yang penuh kemuliaan ini.[21] Karena, mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka.[22]
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah[23] berkata, "Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari Kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jamaah kaum muslimin, seperti orang-orang Khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)."[24]
Terlebih lagi orang-orang yang mengingkari keberadaan telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, seperti kelompok Mu’tazilah[25], mereka termasuk orang yang paling terancam diusir dari telaga ini.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Penjelasan tentang telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – semoga Allah memudahkan kita meminum dari telaga tersebut pada hari Kiamat – (yang disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah dikenal dan (diriwayatkan) dari banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang berkeras kepala menolak dan mengingkari keberadaan telaga ini. Mereka inilah yang paling terancam untuk dihalangi (diusir) dari telaga tersebut (pada hari Kiamat)[26], sebagaimana ucapan salah seorang ulama salaf, “Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan, maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut….”[27]
Imam Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah berkata: “Semoga Allah membinasakan orang-orang yang mengingkari keberadaan telaga ini, dan alangkah pantasnya mereka ini untuk dihalangi dari mendatangi telaga tersebut pada hari (ketika manusia mengalami) dahaga yang sangat berat (hari Kiamat).”[28]
Penutup
Demikianlah penjelasan ringkas tentang telaga kemuliaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kewajiban mengimaninya merupakan perkara penting yang berhubungan dengan iman kepada hari akhir dan merupakan salah satu prinsip dasar akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang tercantum dalam kitab-kitab akidah para imam Ahlus Sunnah.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk dapat meraih semua kebaikan dan kemuliaan yang dijanjikan-Nya di dunia dan di akhirat kelak, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar, Mahadekat, dan Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 3 Sya’ban 1431 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

[1] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam ”Syarhul ‘Aqiidatil Waasithiyyah” (2/528).
[2] Kitab “Ushuulus Sunnah” (hal. 3-4).
[3] Kitab “Syarhul ‘Aqiidatith Thahaawiyyah” (hal. 227).
[4] Kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waasithiyyah” (2/572).
[5] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan insya Allah.
[6] Kitab “Shahiih Imam Muslim” (4/1791).
[7] Kitab “an-Nihayah fiil Fitani wal Malaahim” (hal. 127).
[8] Kitab “Syarhul ‘Aqiidatith Thahaawiyyah” (hal. 227).
[9] HR at-Tirmidzi (no. 2443) dan ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul Kabiir” (no. 6881), juga dari jalur lain (no. 7053) dari sahabat Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu, hadits ini sanadnya lemah, akan tetapi diriwayatkan dari beberapa jalur yang saling menguatkan, sehingga hadits ini mencapai derajat hasan atau bahkan shahih, sebagaimana penjelasan Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 1589).
[10] HSR al-Bukhari (no. 6218) dan Muslim (no. 2296) dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu.
[11] HSR al-Bukhari (no. 6643) dan Muslim (no. 2290) dari sahabat Sahl bin Sa’ad as-Saa’idi radhiallahu ‘anhu.
[12] HSR Muslim (no. 400) dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
[13] HSR Muslim (no. 2300) dari sahabat Abu Dzar al-Ghifaari radhiallahu ‘anhu.
[14] HSR al-Bukhari (no. 6208) dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma.
[15] HSR Muslim (no. 2301) dari sahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu.
[16] HSR al-Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292) dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhu.
[17] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam ”Syarhul ‘Aqiidatil Waasithiyyah” (2/573).
[18] Lihat keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam ”Syarhul ‘Aqiidatith Thahaawiyyah” (1/463).
[19] HSR Muslim (no. 2292) dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma.
[20] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam ”Syarhul ‘Aqiidatil Waasithiyyah” (2/573).
[21] Riwayat Imam al-Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
[22] Lihat keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam ”Syarhul ‘Aqiidatith Thahaawiyyah” (1/468).
[23] Beliau adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr an-Namari al-Andalusi (wafat 463 H), Syaikhul Islam dan imam besar Ahlus Sunnah dari wilayah Maghrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam kitab “Tadzkiratul Huffaazh” (3/1128).
[24] Kitab “Syarh az-Zarqaani ‘Ala Muwaththa-il Imaami Maalik” (1/65).
[25] Lihat keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam ”Syarhul ‘Aqiidatith Thahaawiyyah” (1/468).
[26] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih di atas.
[27] Kitab “an-Nihayah Fiil Fitani wal Malaahim” (hal. 127).
[28] Kitab “Syarhul ‘Aqiidatith Thahaawiyyah” (hal. 229).


Sumber : http://manisnyaiman.com/?p=36#comment-1136

READ MORE - Inilah Telaga yang Selalu Dinanti

- popular posts -

- followers -