Kitab Durratun Nashihin Tidak Bisa Dijadikan Pegangan




Bismillah,
Kitab Durrotun Nashihin (Mutiara-mutiara Nasihat) tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, apalagi sebagai pegangan dalam beragama. Karena kitab ini banyak memuat kisah-kisah imajiner yang tak jelas sumbernya.

Penilaian terhadap Kitab Durrotun Nashihin itu disampaikan Ustadz Suwito Suprayogi, dosen LPDI (Lembaga Pendidikan Dakwah Islam) Jakarta kepada Pelita, Senin (3/12) sehubungan adanya hasil penelitian yang diseminarkan di Pesantren Al-Hikmah di Benda Sirampong Brebes Jawa Tengah bahwa sejumlah kitab kuning megandung hadist-hadits maudhu’ (palsu). Maka kitab itu disarankan agar tidak diajarkan di pesantren-pesantren. Di antara yang dinilai mengandung hadits-hadits palsu adalah Kitab Durrotun Nashihin (sudah diterjemahkan) Al-‘Ushfuriyyah (diterjemahkan oleh Mustafa Helmy), Wasyiyatul Mushtofa, Daqoiqul Akhbar, Tankihul Qoul, Sittin Mas’alah, dan Qurrotul ‘Uyun. (Pelita, 23/12 1993).

Menurut Ustadz Suwito yang biasa memberi pengajian kitab kuning kepada para da’i (juru dakwah), Kitab Durrotun Nashihin tidak sesuai dengan kaidah ilmiah dan agama. Dicontohkan, dalam mengutip apa-apa yang disebut hadits, rujukannya bukan Kitab Hadits seperti Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Sunan Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Dawud dan sebagainya. Namun hanya disebut misalnya kitab Zubdatul Wa’idhin, Kitabul Hayah, Raunaqul Majalis dan sebagainya yang semuanya itu bukan Kitab Hadits. Maka secara ilmiah tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Lebih dari itu, lanjut Suwito, Kitab Durrotun Nashihin mengandung kisah-kisah imajiner yang berbahaya bagi agama. Dicontohkan, pada halaman 8 dikisahkan seorang yang namanya Muhammad tidak pernah sholat sama sekali. Lalu pada bulan Ramadhan dia mengagungkan bulan itu dan mengqodhonya. Inti dari kisah itu mengesankan, ungkap Suwito, seakan-akan semua orang tak usah sholat, cukup diqodho di bulan Ramadhan. Jadi kewajiban sholat seakan tak berharga. Sedang nama Muhammad dalam kisah itu yang disebut tidak pernah sholat sama sekali itu pun tidak jelas siapa orangnya. Padahal agama itu harus jelas bahwa itu dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam atau bahkan dari Al-Quran. “Jadi itu bukan sekadar Hadits palsu, tetapi kisah imajiner,” tutur Suwito.

Masih pula di halaman 8, Kitab Durrotun Nashihin (yang asli, belum diterjemahkan) itu memuat kisah Daud At-Toi yang bermimpi tentang surga. “Kisah semacam itu tidak layak untuk pedoman,” tandas Suwito sambil menunjuk matan kitab ini, karena tidak jelas siapa Daud At-Toi itu, dan agama itu tidak bisa berpedoman hanya kepada mimpi.

Dijelaskan, dalam Kitab Sunnah Qoblat Tadwin dijelaskan secara metodologis tentang sebab-sebab penyelewengan dan pemalsuan hadits. Di antaranya disebabkan oleh pembuat kisah-kisah (qoshosh) yang dihubungkan dengan agama, atau orang yang cinta ibadah tapi dia bodoh dalam agama. Terhadap kasus ini, Nabi mengancam,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

Transliterasi : "Man kaddzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa’ maq’adahu minan naar".

"Barangsiapa berbohong atas saya secara sengaja maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka". (Hadits Mutawatir/di jajaran paling kuat).

Untuk mengecek masalah ini, lanjutnya, bisa disimak pada kitab Minhajus Sholihin karangan ‘Izzuddin Bliq dari Palestina yang dalam pengantarnya dia menyebut dirinya berkeliling dunia sebagai utusan Dewan Dakwah. Kitab yang tebalnya 1024 halaman itu menyebut, pemalsuan terutama dalam hal fadhilah (keutamaan) membaca surat-surat Al-Quran. Pada halaman 32 dicontohkan, Nuh Bin Abi Maryam mengaku membuat hadits-hadits palsu tentang fadhilah membaca surat-surat Al-Quran. Pengakuan itu dengan kilah: Kami berdusta bukan untuk saya tetapi demi Nabi (agar cinta kepada Nabi).

Yang lebih lucu lagi, lanjut Suwito, (mengenai pembuatan hadits palsu) pada halaman 31 –Kitab Minhajus Sholihin– disebutkan, ada penceramah di masjid mengemukakan: Man qoola laailaaha illalloh kholaqolloohu min kulli kalimatin thoiron, minqoruhu min dzahabin wa riisyuhu min marjaanin. Barangsiapa mengucapkan Laailaaha illallohu, maka Allah membuatkan tiap-tiap kata itu burung yang paruhnya dari emas dan bulunya dari mutiara. Ini disebut Hadits Nabi yang riwayatnya dari Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in. Saat itu Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in mendengarkan ceramah ini langsung, dan kedua ulama yang disebut itu saling memandang sambil bertanya: Apakah kamu meriwayatkan itu? Masing-masing mengatakan, tidak. Lalu kedua ulama ini menemui penceramah, dan menyatakan diri: Kami ini adalah Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in, namun tidak meriwayatkan Hadits yang Anda sebutkan itu.

Jawab penceramah, “ Alangkah bodohnya dunia ini. Memangnya yang namanya Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in itu hanya kalian berdua?”

Dari kenyataan itu, Suwito mengharapkan hadits-hadits yang palsu perlu dihindari, sebab pemalsunya sampai sengotot itu. Untuk itu perlu memberikan alternatif kitab-kitab yang jelas bisa dipegangi. Banyak kitab yang bisa dipertanggung jawabkan, di antaranya Minhajus Sholihin, Minhajul Qoshidin, Minhajul Muslim lil Jazairi, Dalilul Falihin Syarah Riyadhus Sholihin dan sebagainya. Saat ini masih banyak ayat-ayat Al-Quran yang masih belum banyak dipelajari, di samping hadits-hadits shohih. Maka hendaknya umat Islam tidak disibukkan oleh kisah-kisah imajiner yang tak bisa dijadikan pegangan seperti kitab yang telah dinilai memuat hadits-hadits palsu tersebut, kata Suwito mengakhiri. (hht/ Jakarta, Pelita, 4/ 1 1994 ).


Sumber : Buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, oleh Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.


<<----------->>


Pertanyaan :
Bagaimana kedudukan kitab Durratun Nashihin? Apakah dapat dijadikan rujukan untuk diamalkan? Jazakumullah khair
sigit@yahoo.com
Jawab:
Di masyarakat kita, kitab ini cukup populer, menjadi pegangan dalam pengutipan hadits dalam ceramah-ceramah. Lengkapnya, berjudul 
Durratun Nashihin Fil Wa’zhi wal Irsyad karya Syaikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubari seorang Ulama yang hidup di abad ke sembilan hijriyah.
Tentang kitab ini, kami kutipkan pernyataan Syaikh bin Baz rahimahullah dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb (1/80-81), dengan ringkas sebagai berikut:

“Kitab ini tidak bisa dijadikan pegangan. (Sebab) berisi hadits-hadits maudhu (palsu) dan lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran, sehingga tidak sepatutunya buku ini dijadikan sandaran dan kitab-kitab serupa lainnya yang berisi hadits palsu dan lemah. Hal ini karena hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian penuh dari para imam-imam (ahli) Sunnah. Mereka telah menjelaskan dan memilah hadits-hadits shahih dan yang tidak shahih. Maka, sudah seharusnya seorang mukmin memiliki kitab-kitab yang baik dan bermanfaat (saja), seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Sunan Arba’ah [1], Mumtaqa al-Akhbar karya Majdudin Ibnu Taimiyah rahimahullah dan kitab Riyadhus Shalihin karya Iman an Nawawi rahimahullah, Bulughul Marom, dan ‘Umdatul Hadits. Kitab-kitab (hadits) ini bermanfaat bagi seorang Mukmin. Kitab-kitab ini jauh dari hadits-hadits palsu dan dusta. Tentang hadits-hadits lemah yang ada di kitab Sunan, Riyadhus Shalihin atau Bulughul Marom, para penulisnya telah menjelaskan dan menyampaikan hukumnya. Hadits-hadits yang lemah yang belum dijelaskan penulis kitab-kitab tersebut, telah dipaparkan dan ditunjukkan oleh para ulama lainnya dalam kitab-kitab syarag yang menjelaskan kitab-kitab tersebut. Demikian juga dijelaskan oleh para ulama dalam karya mereka (secara khusus) tentang hadits-hadits palsu dan lemah.” [2]

Note :
[1] Empat kitab Sunan; Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, an Nasa’i dan Ibnu Majah, pent.)

[2] Sebagian ulama telah membukukan hadits-hadits palsu dan lemah dalam kitab-kitab tersendiri. Misal, al-Maudhu’at karya Imam Ibnul Jauzi, al-Fawaid al-Majmu’ah karya Imam Syaukani, Silsilah al-aHadits adh-Dhai’ifa wal Maudhu’ah karya Syaikh al Albani dan lain-lain. Buku-buku ini ditulis dalam rangka memperingatkan umat dari hadits-hadits palsu dan lemah agar tidak diamalkan. Pent.

[Disalin ulang dari Majalah as Sunnah Vol.7 Edisi 11/Thn XIV/Rabiul Tsani 1432H/Maret 2011M Hal.7]

6 Responses to “Kitab Durratun Nashihin Tidak Bisa Dijadikan Pegangan”

Anonim mengatakan...

bodoh kau ini,, tidak mungkin di pesantren2 di pelajari kalau kitab ini menyesatkan,, fikir donk..

Anonim mengatakan...

kenapa tidak mungkin? apakah pesantren dan apa yang di dalamnya selalu benar?

Anonim mengatakan...

Suwito Suprayogi, dosen LPDI itu siapa?? apakah derajat/ilmunya sudah melebihi Syaikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubari, penulis kitab DURROTUN NASHIHIN??? bisanya si suwito ini menyalahkan kitab yang telah ratusan tahun menjadi pegangan para ulama dunia????

sabiqis mengatakan...

bagian mana dari kitab ini yang menyalahi agam islam............. baca dulu kitab nya.......pahami maksud dalam penyusunannya.... baru kamu bisa memahami..... baca aja belum..hujat terus......... hilangkan hasut bro....

ok mengatakan...

Sedikit berbagi
https://l.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fumar-arrahimy.blogspot.com%2F2014%2F07%2Ftakhriij-hadits-shalat-malam-lailatul.html&h=AAQG2lTGn

ok mengatakan...

Sedikit berbagi
https://l.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fumar-arrahimy.blogspot.com%2F2014%2F07%2Ftakhriij-hadits-shalat-malam-lailatul.html&h=AAQG2lTGn

Posting Komentar

- popular posts -

- followers -