Mengenal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim




Oleh: al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah-

Orang pertama yang memiliki perhatian untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih secara khusus adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (Imam al-Bukhari) dan diikuti oleh sahabat sekaligus muridnya, Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi (Imam Muslim). Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah dua kitab hadits yang paling shahih, namun Shahih Bukhari lebih utama. Pasalnya, Imam Bukhari hanya memasukan hadits-hadits dalam kitab Shahih-nya yang memiliki syarat sebagai berikut:
  • Perawi hadits sezaman dengan guru yang menyampaikan hadits kepadanya
  • Informasi bahwa si perawi benar-benar mendengar hadits dari gurunya harus valid
Sedangkan Imam Muslim tidak mensyaratkan syarat yang kedua, yang penting perawi dan gurunya sezaman, itu sudah dianggap cukup.

Demikianlah perbedaan tentang penilaian keshahihan hadits antara Imam Bukhari dan Imam Muslim, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Sebagaian ulama tidak berpendapat demikian, diantaranya Abu ‘Ali an-Naisaburi, guru dari al-Hakim, dan beberapa ulama maghrib.

Namun demikian, bukan berarti Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengumpulkan semua hadits shahih yang ada pada kedua kitab tersebut. Buktinya, beliau berdua kadang meriwayatkan hadits shahih di kitab yang lain. Misalnya Imam at-Tirmidzi dan sebagian yang lain, dalam kitab Sunan atau kitab lain, kadang meriwayatkan hadits dari shahih al-Bukhari yang tidak terdapat dalam kitab Shahih-nya.

Jumlah hadits shahih dalam Shahih Bukhari dan Muslim
Ibnu Shalah mengatakan bahwa hadits shahih dalam Shahih al-Bukhari berjumlah 7275 hadits dengan pengulangan. Jika tanpa pengulangan berjumlah 4000 hadits. Sedangkan dalam Shahih Muslim, tanpa pengulangan, berjumlah sekitar 4000 hadits.

Penambahan hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim
al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ya’qub bin Akhram berkata: “al-Bukhari dan Muslim tidak melewatkan hadits shahih lain (yang sesuai syarat mereka)”. Ibnu Shalah telah mengkritik pernyataan ini. Buktinya, al-Hakim telah memberi banyak tambahan hadits lain yang memenuhi syarat Bukhari-Muslim, walaupun sebagiannya diperselisihkan. Menurut Ibnu Katsir, hal ini perlu dikritisi. Karena tambahan al-Hakim tersebut merupakan tambahan yang belum tentu disepakati syaratnya oleh Bukhari-Muslim, bisa jadi karena Bukhari-Muslim melihat kelemahan pada perawinya, atau melihat adanya kecacatan. Wallahu’alam.

Banyak kitab hadits yang telah men-takhrij Shahih Bukhari-Muslim dengan memberikan tambahan yang bagus dan sanad yang bagus, misalnya Shahih Abu ‘Awanah, Shahih Abu Bakar al-Isma’iliShahih al-BurqaniShahih Abu Nu’aim al-Ashhabani dan yang lain. Terdapat kitab lain juga yang diklaim shahih oleh penulisnya, seperti Shahih Ibnu Khuzaimah dan Shahih Ibnu Hayyan al-Bustani. Kedua kitab ini lebih bagus dari kitab al-Mustadrak al-Hakim, serta lebih bersih sanad dan matannya.

Demikian pula, dalam Musnad Imam Ahmad terdapat hadits dengan sanad dan matan yang sama seperti yang terdapat di Shahih Muslim dan Shahih Bukhari. Terdapat juga hadits yang tidak terdapat dalam keduanya atau salah satunya, dan terdapat pula hadits yang tidak diriwayatkan oleh empat kitab hadits induk, yaitu Sunan Abi DaudSunan at-TirmidziSunan an-Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah.

Demikian juga ditemukan banyak hadits shahih dalam Mu’jam al-Kabir dan Mu’jam al-Wasith ath-Thabrani, Musnad Abu Ya’laMusnad al-Bazzar, dan kitab-kitab MusnadMu’jamFawaid dan Ajza yang lain. Adanya hadits-hadits shahih dalam kitab-kitab tersebut ditinjau dari para perawinya dan tidak terdapatnya kecacatan. Dibolehkan mendahulukan hadits-hadits tersebut walau tidak diriwayatkan oleh para huffadz sebelum mereka. Hal ini disetujui oleh Imam Abu Zakaria Yahya an-Nawawi, namun Ibnu Shalah tidak sependapat dengan beliau. Syaikh Dhiyauddin Muhammad bin Abdul Wahid al-Maqdisi menulis sebuah kitab hadits yang berjudul ‘al-Mukhtarah‘, namun belum sempurna. Sebagian guru kami ada yang lebih mengutamakan hadits-hadits dalam kitab tersebut dibanding al-Mustadrak al-HakimWallahu’alam

Ibnu Shalah sendiri berkomentar di kitab Mustadrak al-Hakim: “Kitab ini terlalu luas dalam memaknai keshahihan hadits. Penulis terlalu bermudah-mudah dalam menshahihkan hadits. Sebaiknya ia bersikap pertengahan dalam hal ini. Namun, hadits-hadits dalam kitab ini yang belum dishahihkan oleh para imam hadits, kadang ada yang memang shahih, yang lainnya minimal hasan, yang masih bisa dijadikan hujjah. Kecuali beberapa hadits yang jelas kecacatannya, maka dhaif”.

Menurut Ibnu Katsir, dalam kitab al-Mustadrak terdapat berbagai jenis hadits. Ada hadits yang memang shahih yang tidak ada di Shahih Bukhari-Muslim, namun sedikit. Ada pula hadits shahih yang diklaim oleh al-Hakim tidak terdapat dalam Shahih Bukhari-Muslim padahal sebenarnya diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, namun al-Hakim tidak tahu. Ada pula hadits hasan, dhaif, hadits palsu. Guru kami, Imam adz-Dzahabi, telah meringkas kitab ini dan memberi penjelasan pada setiap hadits, dan dijadikan satu jilid kitab yang tebal, beliau menemukan hampir seratus hadits palsu dari al-Mustadrak. Wallahu’alam.

Beberapa catatan tentang Shahih Bukhari-Muslim
  • Ibnu Shalah pernah menjelaskan tentang hadits-hadits yang mu’allaq dalam Shahih Bukhari-Muslim. Jumlahnya sedikit, beliau mengatakan ada sekitar 14 hadits. Secara ringkas beliau menjelaskan, hadits mu’allaq dengan shighah jazm dalam Shahih Bukhari adalah hadits shahih dari jalan perawi yang disebutkan, sedangkan jalan yang lain perlu diteliti. Lalu hadits mu’allaq dengan shighah tamridh, belum tentu shahih dan belum tentu tidak shahih. Karena terkadang ada hadits yang demikian dan ternyata memang hadits shahih, misalnya diketahui bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim juga. Kemudian hadits muallaq tersebut tidak dikelompokkan ke dalam hadits shahih musnad, walau beliau menamai kitabnya “al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar Fii Umuuri Rasululillah Shallallahu ’alaihi Wasallam

  • Jika Imam al-Bukhari berkata “Qaala Lanaa” (Seseorang berkata kepada saya) atau berkata “Qaala Lii Fulaanun Kadzaa” (Fulan berkata kepada saya begini) atau “Zaadanii” (Seseorang memberikan tambahan kepada saya), atau perkataan semisal, dihukumi muttashil menurut pendapat mayoritas ulama hadits. Ibnu Shalah juga mengabarkan bahwa yang demikian juga merupakan bentuk hadits mu’allaq, Imam Bukhari menyebutkan hadits tersebut untuk memperkuat bukan sebagai pokok, dan kadang hadits tersebut di dengar oleh Imam Bukhari dalam mudzakarah. Ibnu Shalah dalam hal ini telah membantah al-Hafidz Abu Ja’far bin Hamdan yang mengatakan bahwa jika Imam al-Bukhari berkata “Qaala Lii Fulaanun” (Fulan berkata kepada saya) adalah untuk munaawalah.

  • Ibnu Shalah juga mengingkari Ibnu Hazm yang menolak hadits Bukhari tentang alat musik karena pada hadits tersebut al-Bukhari berkata: “Hisyam bin ‘Ammar berkata…”. Ibnu Shalah mengatakan bahwa Ibnu Hazm salah dalam beberapa hal, hadits ini shahih dari Hisyam bin ‘Ammar. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, Abu Daud dalam Sunan-nya, al-Burqani dalam Shahih-nya, dan yang lainnya. Semua riwayatnya musnad muttashil sampai kepada Hisyam bin ‘Ammar dan gurunya. Ibnu Katsir  telah menjelaskan hal ini dalam kitab al-Ahkam.

Ibnu Shalah mengabarkan bahwa Shahih Bukhari-Muslim telah diterima oleh kaum muslimin dengan sepakat. Kecuali beberapa hadits saja yang dikritik setelah diteliti oleh sebagian Huffadz seperti ad-Daruquthni dan yang lainnya. Dari kesepakatan tersebut diputuskan bahwa hadits-hadits Bukhari-Muslim pasti shahih. Karena kaum muslimin ma’shum dari kesalahan jika telah bersepakat. Karena jika ummat menilainya shahih dan mewajibkan beramal dengannya, maka tentu hadits-hadits tersebut pada hakikatnya memang shahih. Inilah pendapat yang bagus. Namun Muhyiddin an-Nawawi tidak sependapat dengan pendapat ini, ia berkata: “Kesepakatan kaum muslimin dalam hal ini tidak memastikan hadits-hadits Bukhari-Muslim pasti shahih”. Ibnu Katsir lebih cenderung sepakat dengan pendapat Ibnu Shalah. Wallahu’alam. Setelah menjelaskan demikian, Ibnu Shalah menyampaikan perkataan Ibnu Taimiyah yang intinya: “Telah dinukil pernyataan dari para ulama bahwa hadits-hadits dalam Shahih Bukhari-Muslim yang sepakat diterima oleh ummat. Diantara para ulama tersebut:
- al-Qadhi Abdul Wahhab al-Maliki
    • - Syaikh Abdul Hamid al-Asfaraini
    • - al-Qadhi Abu Thayyib ath-Thabari
    • - Syaikh Abu Ishaq asy-Syairaazi asy-Syafi’i
    • - Ibnu Hamid
    • - Abu Ya’a Ibnul Farra’
    • - Abul Khattab
    • - Ibnu az-Zaghwani dan ulama Hanabilah semisal beliau

    • Syamsul Aimmah as-Sarkhasi al-Hanafi, ia berkata: ‘Ini adalah pendapat para ahli kalam dari kalangan Asy’Ariyyah, seperti Ishaq al-Asfaraini dan Ibnu Faurak, dan juga merupakan pendapat Ahlul Hadits secara khusus dan Mazhab Salaf secara umum” (sampai di sini perkataan Ibnu Taimiyyah)



(Diterjemahkan dari al-Ba’its al-Hatsits, karya al-Imam Abul Fida Ibnu Katsir rahimahullah )
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id 

READ MORE - Mengenal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim

Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dha’if




Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam haruslah berlandaskan hadits shahih, bukan hadits dha’if. Allah ta’ala telah mengistimewakan agama ini dengan adanya sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad merupakan penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih wajib diamalkan, adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad hadits tersebut shahih ataukah tidak?

Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,

سالت ابي عن الرجل يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول الله صلى الله عليه و سلم – والصحابة والتابعين وليس للرجل بصر بالحديث الضعيف المتروك ولا الاسناد القوي من الضعيف فيجور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به ويعمل به قال لا يعمل حتى يسأل ما يؤخذ به منها فيكون يعمل على امر صحيح يسال عن ذلك اهل العلم

“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai kitab yang memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan tabi’in. Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut. (I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).

Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits dan pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya menjadi spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan mereka adalah pribadi yang menghafal seluruh periwayatan para rawi yang sangat mengilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi yang menjadi landasan beragama mereka adalah hadits dan atsar yang dinukil (secara turun temurun) dari masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga masa kita sekarang.” (At-Tamyiz hal. 218).

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata,

فأما الأئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان

“Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl Ilmi as-Salaf hal. 57) .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة

“Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fatawa 1/250).

al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi).



Diterjemahkan dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal. 9-10, karya Zakariya bin Ghulam Qadir al-Bakistani.

Gedong Kuning, Yogyakarta, 5 Rabi’ ats Tsani 1431.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
READ MORE - Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dha’if

- popular posts -

- followers -