Maka beliau bertanya (kepada laki-laki itu): "Apakah engkau mempunyai sesuatu (sebagai maharnya)?"
Laki-laki itu menjawab: "Tidak (punya), demi Allah wahai Rasulullah."
Beliau bersabda: "Pergilah kepada keluargamu, kemudian lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu?"
Maka laki-laki itu pun pergi kemudian kembali dan berkata: Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah."
Beliau bersabda: "Lihatlah kembali (barangkali engkau mempunyai sesuatu) meskipun (hanya) sebuah cincin besi!"
Maka laki-laki itu pun pergi kemudian kembali dan berkata: "Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah walaupun (hanya) sebuah cincin besi. Akan tetapi inilah kain saya (hanya inilah yang saya punya)."
Sahl berkata: Kain (yang dia punya itu) tidak ada ridaa' (selendangnya). Maka dia akan memberikan kepada perempuan itu setengah dari kainnya itu (sebagai maharnya).
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallm bersabda (kepadanya): "Apakah yang bisa kau perbuat dengan kainmu itu? Kalau kau pakai kain itu, maka perempuan ini tidak bisa memakainya, dan kalau perempuan ini yang memakainya, maka kau pun tidak bisa memakainya."
Kemudian laki-laki itu pun duduk sampai lama duduknya. Kemudian dia berdiri (pergi). Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallm melihat laki-laki itu pergi beliau memerintahkan orang untuk memanggilnya. Maka setelah laki-laki itu datang beliau bersabda: "Apakah yangada padamu dari (surat-surat) Al-Qur'an? (Yakni surat-surat yang engkau hapal)."
Laki-laki itu menjawab: "Surat ini dan itu." Lalu dia menyebutkan beberapa surat.
Beliau bersabda: "Apakah engkau hapal (surat-surat tersebut)?"
Laki-laki itu menjawab: "Ya."
Beliau bersabda: "Pergilah (bawalah perempuan ini), karena sesungguhnya aku telah nikahkan engkau dengan perempuan ini dengan (mahar) apa yang ada padamu (yang engkau hapal) dari (surat-surat) Al-Qur'an." (HR. Bukhari no. 5126 dan Muslim no. 1425)
Imam Bukhari di kitab Shahihnya bagian kitab Nikah (Bab: 15) telah memberikan judul bab seperti di atas (kecuali tambahan kata "tetapi"), yang merupakan fiqih beliau. Kemudian beliau mengatakan (memberikan alasan): Karena berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"Jika mereka miskin, niscaya Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dari sebagian karunia-Nya (An-Nuur: 32). Kemudian Al-Imam meriwayatkan hadits di atas.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan maksudnya: "Walhasil, bahwa kemiskinan ketika itu (ketika akan nikah) tidak menghalanginya untuk menikah. Karena mungkin saja dia akan memperoleh harta di kemudian hari."
Yakni, kekayaan dan kemiskinan sifatnya nisbi. Sekarang kaya besok miskin. Sekarang miskin besok kaya. Semuanya bejalan sesuai dengan takdir dari Rabbul 'alamin. Sedangkan kita berjalan dari satu takdir Allah ke satu takdir Allah yang lain. Bahwa takdir harus dilawan dengan takdir juga. Takdir lapar dan haus, harus kita lawan dengan makan dan minum sehingga hilanglah rasa lapar dan dahaga. Kedua-duanya adlah takdir.
Kemiskinan adalah takdir. Maka harus kita lawan dengan takdir lain, yaitu berdo'a dan berlindung kepada Allah dari kefaqiran dan kemiskinan sebagaimana do'a Nabi yang mulia shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian dengan menjalani sebab-sebab yang Allah telah tetapkan dan tentukan atau yangkita kenal dengan nama Sunatullah. Yaitu dengan jalan berusaha atau bekerja yang akan menutupi hajat kita atau menghilangkan kemiskinan yang ada pada kita dengan izin Allah.
Akan tetapi karena sebab yang akan dijalani itu ada dua macam sebab: Yaitu sebab yang syar'i dan tidak syar'i. Atau dengan kata lain yang halal dan yang haram, maka kewajiban kita adalah menjalani sebab yang syar'i atau yang halal. Tidak boleh atau terlarang menjalani sebab yang tidak syar'i atau yang haram.
Oleh karena itu bagi setiap pemuda yang akan menikah, dan ketika itu keadaannya masih miskin -dan hal ini tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap menikah apabila keinginan dan dorongan syahwatnya demikian kuatnya demi memelihara dan menjaga kesopanan dirinya agar tidak terjerumus ke dalam dosa- maka dia harus merobah takdirnya ini dengan takdir lain yang menjadi lawannya seperti yang telah diterangkan di atas.
Hal ini disebabkan karena Rabbul 'alamin telah berfirman kepada kita secara umum:
"Sesungguhnya Allah tidak akan merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (Ar-Ra'd: 11)
"Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merobah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merobah apa yang aa pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Anfaal: 53)
Yakni, satu kaum yang Allah telah memberikan nikmat kepada mereka, tetapi kemudian mereka tidak taat dan tidak bersyukur lagi, maka Allah mengganti nikmat-Nya itu dengan siksaan-Nya. Akan tetapi selama kaum itu ta'at dan bersykur kepada Allah, maka Allah tidak akan mengganti nikmat-Nya itu dengan siksaan-Nya. Perubahan yang terjadi itu diserahkan kepada diri-diri mereka karena itu adalah akibat dari hasil usaha mereka sendiri.
Bahwa Allah Jalla Dzikruhu tidak akan merobah nasib seseorang atau satu kaum sehingga mereka merobah apa yang ada pada diri mereka. Dan kedua-duanya adalah dari takdir Allah 'Azza wa Jalla. Kembali semuanya diserahkan kepada kehendak Allah. Kalau Allah mau, maka Allah akan menghapuskannya dari kamu. Dan kalau Allah mau, maka Allah akan menetapkannya bagi kamu sebagaimana firman Allah Jalla Dzikruhu:
"Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)." (Ar-Ra'd: 39)
Kemudian perhatikanlah hadits yang memberikan harapan yang sangat besar di bawah ini:
Dari Abi Hurairah, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Tiga orang yang sudah pasti mereka akan mendapat pertolongan Allah:
1. Mujahid yang (berperang) di jalan Allah.
2. Seorang budak yang berusaha menebus (membayar) dirinya.
3. Dan seorang laki-laki yang menikah karena hendak menjaga kesopanan dirinya." (Hadits hasan. Telah dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi no. 1655, Nasaa-i no. 3120 & 3218, dan Ibnu Majah no. 2518, dan selain mereka. Imam Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan").
Abu Muhammad Herman
Dikutip dari buku "Pernikahan & Hadiah Untuk Pengantin", Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, hlm. 30-39)
No response to “Orang Yang Tidak Mampu Tetapi Menikah..”
Posting Komentar