Hiasi Diri Dengan Sifat Tawadhu'



Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.


Memahami Tawadhu’

Tawadhu’ adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak (Lihat Adz Dzari’ah ila Makarim Asy Syari’ah, Ar Roghib Al Ash-fahani, 299). Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)


Keutamaan Sifat Tawadhu’

Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)

Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,

وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.

Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.
Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).


Mencontoh Sifat Tawadhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas berkata,

أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح رؤوسهم

Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth) Subhanallah … Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.

Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.

عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”

Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab,

كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.


Nasehat Para Ulama Tentang Tawadhu’

قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .

Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

يقول  الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »

Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)
 
يقول بشر بن الحارث: “ما رأيتُ أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير”.

Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.

قال عبد الله بن المبارك: “رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في نعمةِ الله حتى تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب (6/298)].

‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)

قال سفيان بن عيينة: من كانت معصيته في شهوة فارج له التوبة فإن آدم عليه السلام عصى مشتهياً فاستغفر فغفر له، فإذا كانت معصيته من كبر فاخش عليه اللعنة. فإن إبليس عصى مستكبراً فلعن.

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”

قال أبو بكر الصديق: وجدنا الكرم في التقوى ، والغنى في اليقين ، والشرف في التواضع.

Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”

قال عروة بن الورد :التواضع أحد مصائد الشرف، وكل نعمة محسود عليها إلا التواضع.

‘Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”

قال يحيى بن معين :ما رأيت مثل أحمد بن حنبل!! صحبناه خمسين سنة ما افتخر علينا بشيء مما كان عليه من الصلاح والخير

Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”

قال زياد النمري :الزاهد بغير تواضع .. كالشجرة التي لا تثمر

Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.”[1]


Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).

Wallahu waliyyut taufiq.



@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 19 Dzulhijjah 1432 H


[1] Perkataan-perkataan ulama di atas, penulis nukil dari http://www.saaid.net/mktarat/alalm/30.htm dan http://www.wejhah.com/vb/showthread.php?t=7375
READ MORE - Hiasi Diri Dengan Sifat Tawadhu'

Shalawatan Setelah Adzan



Seringkali kita dengar di surau atau masjid setelah dikumandangkannya adzan, muadzin membaca shalawat dengan suara yang keras. Bahkan ada yang dengan nada yang mendayu-mendayu. Barangkali kita pernah mendengar pula bahwa ada anjuran membaca shalawat dan meminta wasilah bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

 “Apabila kalian mendengar mu’adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin, lalu bershalawatlah kepadaku, maka sungguh siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak 10x. Kemudian mintalah pada Allah wasilah bagiku karena wasilah adalah sebuah kedudukan di surga. Tidaklah layak mendapatkan kedudukan tersebut kecuali untuk satu orang di antara hamba Allah. Aku berharap aku adalah dia. Barangsiapa meminta wasilah untukku, dia berhak mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim no. 875)

Dari hadits di atas jelas bahwa ada tuntunan bershalawat dan meminat wasilah bagi beliau setelah adzan. Dari sinilah sebagian muadzin berdalil akan agungnya amalan shalawat setelah adzan sampai-sampai dikeraskan dengan pengeras suara.

Perlu diketahui bahwa amalan mengeraskan suara setelah kumandang adzan telah dibahas oleh para ulama akan kelirunya dan digolongkan sebagai bid’ah sayyi’ah (bukan bid’ah hasanah). Kita dapat menemukan pernyataan tersebut, di antaranya dalam perkataan Syaikh Sayyid Sabiq –rahimahullah- yang mungkin saja di antara kita telah memiliki atau membaca buku fiqih karya beliau, yakni Fiqih Sunnah.

Syaikh Sayyid Sabiq –rahimahullah- berkata,
"Mengeraskan bacaan shalawat dan salam bagi Rasul setelah adzan adalah sesuatu yang tidak dianjurkan. Bahkan amalan tersebut termasuk dalam bid’ah yang terlarang. Ibnu Hajar berkata dalam Al Fatawa Al Kubra, “Para guru kami dan selainnya telah menfatwakan bahwa shalawat dan salam setelah kumandang adzan dan bacaan tersebut dengan dikeraskan sebagaimana ucapan adzan yang diucapkan muadzin, maka mereka katakan bahwa shalawat memang ada sunnahnya, namun cara yang dilakukan tergolong dalam bid’ah. “

Syaikh Muhammad Mufti Ad Diyar Al Mishriyah ditanya mengenai shalawat dan salam setelah adzan (dengan dikeraskan). Beliau rahimahullah menjawab, “Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Khaniyyah bahwa adzan tidak terdapat pada selain shalat wajib. Adzan itu ada 15 kalimat dan ucapkan akhirnya adalah “Laa ilaha illallah”. Adapun ucapan yang disebutkan sebelum atau sesudah adzan (dengan suara keras sebagaimana adzan), maka itu tergolong dalam amalan yang tidak ada asal usulnya (baca: bid’ah). Kekeliruan tersebut dibuat-buat bukan untuk tujuan tertentu. Tidak ada satu pun di antara para ulama yang mengatakan bolehnya ucapan keliru semacam itu. Tidak perlu lagi seseorang menyatakan bahwa amalan itu termasuk bid’ah hasanah. Karena setiap bid’ah dalam ibadah seperti contoh ini, maka itu termasuk bid’ah yang jelek (bukan bid’ah hasanah, tetapi masuk bid’ah sayyi-ah, bid’ah yang jelek). Siapa yang klaim bahwa seperti ini bukan amalan yang keliru, maka ia berdusta.”

Lihatlah Syaikh rahimahullah sendiri menganggap bahwa bid’ah dalam masalah ibadah bukanlah masuk bid’ah hasanah, namun itu masuk dalam kategori dalam bid’ah sayyi’ah. Renungkanlah saudaraku yang selalu beralasan bid’ah hasanah atas perbuatan kelirunya yang jelas jauh dari tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam! Perhatikanlah ucapan seorang alim ini! Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau ajarkan adalah do’a sesudah adzan tidak dikeraskan (dengan pengeras suara) sebagaimana adzan.

Adapun do’a sesudah adzan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut. Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa mengucapkan setelah mendengar adzan ‘Allahumma robba hadzihid da’watit taammati wash sholatil qoo-imah, aati Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab’atshu maqoomam mahmuuda alladzi wa ‘adtah’ [Ya Allah, Rabb pemilik dakwah yang sempurna ini (dakwah tauhid), shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah (kedudukan yang tinggi), dan fadilah (kedudukan lain yang mulia). Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqom (kedudukan) terpuji yang telah Engkau janjikan padanya], maka dia akan mendapatkan syafa’atku kelak.” (HR.Bukhari no. 614 )

Wallahu waliyyut taufiq.


Reference: Fiqih Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq, 1/ 91, Muassasah Ar Risalah
Riyadh-KSA, 6 Jumadil Ula 1432 H (09/04/2011)

READ MORE - Shalawatan Setelah Adzan

Bersemangatlah Menuntut Ilmu Agama



Menuntut ilmu agama termasuk amal yang paling mulia, dan ia merupakan tanda dari kebaikan. Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, akan dimudahkan untuk memahami ilmu agama” (HR. Bukhari-Muslim). Hal ini dikarenakan dengan menuntut ilmu agama seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat baginya untuk melakukan amal shalih.

Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan Allahlah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hudaa dan dinul haq” [At Taubah: 33]. Dan hudaa di sini adalah ilmu yang bermanfaat, dan maksud dinul haq di sini adalah amal shalih. Selain itu, Allah Ta’ala pernah memerintahkan Nabi-Nya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan ilmu, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku” [Thaha: 114]. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena Allah Ta’ala tidak pernah memerintahkan Nabinya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan terhadap sesuatu, kecuali ilmu” [Fathul Baari, 187/1]. Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam memberi nama majlis ilmu agama dengan ‘Riyadhul Jannah’ (Taman Surga). Beliau juga memberi julukan kepada para ulama sebagai ‘Warotsatul Anbiyaa’ (Pewaris Para Nabi).

Dari sisi keilmuan dan pengamalan terhadap ilmu, manusia terbagi menjadi 3 jenis:
- Jenis yang pertama yaitu orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Mereka ini adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah untuk menempuh shiratal mustaqim, yaitu jalan yang lurus yang telah ditempuh oleh para nabi, orang-orang jujur, pada syuhada, dan orang-orang shalih. Dan merekalah teman yang terbaik.
- Jenis yang kedua yaitu orang yang berilmu namun tidak mengamalkannya. Mereka ini adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah, semisal orang-orang Yahudi dan pengikut mereka.
- Jenis yang ketiga yaitu orang yang beramal tanpa ilmu. Mereka ini adalah orang-orang yang sesat, semisal orang-orang Nashrani dan para pengikut mereka.

Ketiga jenis manusia ini tercakup dalam surat Al Fatihah yang senantiasa kita baca setiap rakat dalam shalat kita,yang artinya: ”Ya Rabb, tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang yang Engkau beri ni’mat, bukan jalannya orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat” [Al Fatihah: 6 - 7].

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Firman Allah Ta’ala (yang artinya) ‘bukan jalannya orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat’, yang dimaksud orang yang dimurkai di sini adalah para ulama yang tidak mengamalkan ilmu mereka. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Apapun yang pertama, adalah sifat Yahudi. Dan yang kedua adalah sifat Nashrani. Namun kebanyakan orang jika melihat tafsir ayat ini mereka mengira bahwa sifat ini khusus bagi Yahudi dan Nashrani saja, padahal ia membaca bahwa Rabb-nya memerintahkan untuk membaca doa tersebut dan berlindung dari jalannya orang-orang yang bersifat demikian. Subhanallah! Bagaimana mungkin Allah mengabarkan sesuatu dan memilah sesuatu serta memerintahkan untuk selalu berdoa jika tidak ada maksud untuk memberi peringatan atau memberi gambaran keburukan mereka untuk dijauhi. Hal ini termasuk perbuatan berprasangka buruk terhadap Allah. (Karena mengira bahwa firman Allah tersebut tidak ada faedahnya -pent.)”. (Lihat Tarikh Najdi, Ibnu Ghonam)

Dan beliau juga menjelaskan tentang hikmah diwajibkannya membaca surat Al Fatihah dalam tiap rakaat shalat kita, baik shalat wajib maupun shalat sunnah, yaitu sebuah rahasia yang agung. Secara ringkas rahasia dari doa tersebut adalah harapan agar Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk kepada jalannya orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, yang merupakan jalan keselamatan di dunia dan di akhirat. Juga harapan agar Allah Ta’ala menjaga kita dari jalannya orang-orang yang binasa, yaitu orang-orang yang berlebihan dalam amal shalih saja atau berlebihan dalam ilmu saja.

Kemudian, ketahuilah wahai pembaca yang budiman, ilmu yang bermanfaat itu di ambil dari Al Qur’an dan hadits, dengan bantuan para pengajar, juga dengan bantuan kitab-kitab tafsir Al Qur’an dan kitab syarah (penjelasan) hadits, kitab fiqih, kitab nahwu, dan kitab bahasa arab yang merupakan bahasa Al Qur’an. Semua kitab ini adalah gerbang untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah.

Wahai saudaraku, agar amalmu termasuk amal shalih, wajib bagimu untuk mempelajari hal-hal pokok yang menegakkan agamamu. Seperti mempelajari tentang shalat, puasa, haji, zakat, juga mempelajari perkara muamalah yang engkau butuhkan. Agar engkau dapat mengambil yang boleh saja dan tidak terjerumus pada hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Agar penghasilanmu halal, makananmu halal sehingga doamu dapat dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Semua ini adalah hal-hal yang mempelajarinya adalah kebutuhan bagimu. Semua ini akan mudah dijalani, dengan izin Allah, bila benar tekadmu dan bersih niatmu.

Maka bersemangatlah membaca kitab-kitab yang bermanfaat, dan berkonsultasilah dengan para ulama. Tanyakanlah kepada mereka tentang hal-hal yang membuatmu bingung, dan temukan jawaban tentang hukum-hukum agamamu. Hal ini bisa dilakukan dengan menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan di masjid atau di tempat lain, atau mendengarkan program-program Islami dari siaran radio, atau membaca majalah atau buletin yang membahas permasalahan agama, jika engkau bersemangat terhadap semua media-media yang bermanfaat ini, tentu bersinarlah cahaya ilmu bagimu dan teranglah penglihatanmu.

Dan jangan lupa saudaraku, ilmu itu akan disucikan dengan amal. Jika engkau mengamalkan apa yang telah engkau ilmui, maka Allah Ta’ala akan menambahkan ilmu bagimu. Sebagaimana peribahasa orang arab “Orang yang mengamalkan apa yang telah ia ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang belum ia ilmui”. Peribahasa ini dibenarkan oleh firman Allah Ta’ala yang artinya: “Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan membuatmu berilmu. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [Al Baqarah: 272]

Ilmu adalah kesibukan yang paling layak untuk mengisi waktu, ia juga merupakan hadiah yang paling layak untuk diperlombakan bagi orang-orang yang berakal. Ilmu akan menghidupkan hati dan mensucikan amal.
Allah Ta’ala telah memuji para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan mengangkat derajat mereka dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya hanya orang yang berakal saja yang dapat menerima pelajaran” [Az Zumar: 9]. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Allah telah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu dari kalian beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Al Mujaadalah: 11]. Allah Ta’ala telah menjelaskan keistimewaan orang-orang berilmu yang digandengkan dengan iman. Kemudian setelah itu Allah mengabarkan Ia Maha Mengetahui atas apa yang kita kerjakan. Maka di sini terdapat tanda yang menunjukkan bahwa ilmu harus digandengkan dengan amal, dan juga harus bersandar pada iman dan muqorobah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

[Diterjemahkan dari muqoddimah kitab “Al Mulakhos Al Fiqhiy”, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan]

Penerjemah: Yulian Purnama
READ MORE - Bersemangatlah Menuntut Ilmu Agama

Adzan Dan Iqamah (2)

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi



Pada edisi terdahulu, telah kami jelaskan tentang adzan dan iqamat. Yaitu meliputi pengertian, perbedaan antara adzan dan iqamat, serta sifat dan lafadznya, maka pada edisi kali ini, kami lanjutkan pembahasan tersebut, yang merupakan bagian terakhir dari dua tulisan.


HUKUM DAN DISYARIATAN ADZAN

Disyariatkan adzan dan iqamah ini berdasarkan nash syariat, di antaranya kisah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khaththab, sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Zaid yang telah kami jelaskan di depan, dan merupakan ijma’ untuk shalat lima waktu.

Imam An Nawawi mengatakan: “Adzan dan iqamah disyariatkan berdasarkan nash-nash syariat dan Ijma’. Dan tidak disyariatkan (adzan dan iqamah ini) pada selain shalat lima waktu, tidak ada perselisihan (dalam masalah ini)”.[1]


Awal disyariatkannya terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tersebut di dalam hadits Ibnu Umar yang berbunyi:


كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِي بِالصَّلاَةِ فَقَالَ رَسُولُ الهَِn يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ
Kaum muslimin, dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul, lalu memperkirakan waktu shalat, tanpa ada yang menyerunya. (Hingga) pada suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian mereka berkata “gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara”. Dan sebagian menyatakan “gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi”. Maka Umar berkata: “Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru shalat?” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Wahai, Bilal. Bangun dan serulah untuk shalat.” [2]

Imam Asy Syaukani menyatakan, inilah yang paling shahih dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penentuan awal waktu disyariatkan adzan [3]. Hal ini juga yang dirajihkan Imam Ibnu Hajar.[4]


Adapun hukumnya, para ulama berselisih dalam beberapa pendapat. Yang mendekati kebenaran dari pendapat-pendapat tersebut, ialah pendapat yang mewajibkannya, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits :


أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ رواه البخاري
Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisinya selama 20 hari. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah lembut. Ketika Beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga, maka Beliau berkata : “Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka, dan ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan. Dan orang yang paling dituakan mengimami shalat kalian”.[5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :


مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لاَ يُؤَذَّنُ وَلاَ تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ رواه أحمد
Tidak ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali setan akan memangsa mereka.[6]

Demikian pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Al Utsaimin[7] dan Syaikh Al Albani.


Syaikh Al Albani mengatakan : “Sungguh, pendapat yang menyatakan adzan hanyalah Sunnah jelas merupakan kesalahan. Bagaimana bisa, padahal ia termasuk syi’ar Islam terbesar, yang jika Nabi n tidak mendengarnya di negeri suatu kaum yang akan Beliau perangi, maka Beliau akan memerangi mereka. Jika mendengar adzan pada mereka, Beliau menahan diri, sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahihain dan selainnya. Dan perintah adzan sudah ada dalam hadits shahih lainnya. Padahal hukum wajib dapat ditetapkan dengan dalil yang lebih rendah dari ini. Maka yang benar, adzan adalah fardhu kifayah, sebagaimana dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa (1/67-68 dan 4/20). Bahkan juga bagi seseorang yang shalat sendirian”. [8]


Bahkan Syaikhul Islam menegaskan hukum ini dengan pernyataannya : “Yang benar, adzan itu fardhu kifayah”.[9]


Ibnu Hazm mengomentari permasalahan ini dengan pernyataannya : "Kami tidak mengetahui orang yang menyatakan tidak wajibnya adzan dan iqamah (ini) memiliki hujjah. Seandainya Rasulullah tidak menghalalkan darah dan harta suatu kaum yang Beliau tengarai dengan tidak adanya adzan pada mereka, tentulah cukup untuk mewajibkannya”.[10]


HUKUM-HUKUM SEPUTAR ADZAN

Ada beberapa permasalahan seputar adzan yang cukup penting diketahui, di antaranya:

1. Disunnahkan beradzan dalam keadaan berdiri.

Ibnu Al Mundzir berkata: “Para ulama yang saya hafal, (mereka) sepakat, bahwa sunnah beradzan dengan berdiri” [11]. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Bilal dalam hadits Abu Qatadah:

إِنَّ الهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلاَلُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ
Sesungguhnya Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan (Dia) suka, dan mengembalikannya kapan (Dia) suka. Wahai, Bilal! Bangun dan beradzanlah untuk shalat. [HR Al Bukhari].

Juga disunnahkan menghadap kiblat [12]. Syaikh Al Albani menyatakan: “Telah shahih dalil menghadap kiblat dalam adzan dari malaikat, sebagaimana yang dilihat Abdullah bin Zaid Al Anshari dalam mimpinya”. [13]


2. Disunnahkan beradzan di tempat yang tinggi, agar lebih keras terdengar dalam menyampaikan adzan [14]. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits seorang wanita dari Bani Najjar yang menyatakan:


كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ
Rumahku, dahuku termasuk rumah yang tertinggi di sekitar masjid (nabawi), dan Bilal, dulu beradzan fajar di atas rumah tersebut. [HR Abu Dawud dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, hadits no. 229, hlm. 1/246].

3. Muadzin disunnahkan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri pada hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), berdasarkan hadits Abu Juhaifah yang berbunyi:


أَنَّهُ رَأَى بِلَالاً يُؤَذِّنُ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا وَهَهُنَا بِاْلأَذَانِ
Sesungguhnya Beliau melihat Bilal beradzan, lalu aku melihat mulutnya disana dan disini mengucapkan adzan. [HR Al Bukhari].

Dan dalam riwayat Muslim dengan lafadz:


فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا يَقُولُ يَمِينًا وَشِمَالاً يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
Lalu mulailah aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini, yaitu ke kanan dan ke kiri mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala al falah.

Imam An Nawawi menjelaskan, disunnahkan memalingkan wajah dalam hai’alatain ke kanan dan ke kiri. Dalam tata cara memalingkan wajah, yang mustahab ada tiga cara, yaitu :


Pertama. Ini yang paling benar dan telah ditetapkan ahli Iraq dan sejumlah ahli Khurasan (dalam madzhab Syafi’i), bahwa memalingkan ke kanan dengan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala ash shalat, kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, hayya ‘ala al falah.


Kedua. Berpaling ke kanan dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, kemudian kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kanan lagi dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat. Kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, lalu kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kiri lagi dan mengucapkan hayya ‘ala al falah.


Ketiga. Pendapat Al Qafal, yaitu mengucapkan hayya ‘ala ash shalat satu kali berpaling kekanan, dan satu kali berpaling ke kiri; kemudian mengucapkan hayya ‘ala al falah satu kali berpaling ke kanan dan satu kali berpaling ke kiri.[15]


4. Disunahkan meletakkan kedua jemari di telinga, sebagaimana hadits Abu Juhaifah dengan lafadz:


رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ وَرَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ لَهُ حَمْرَاءَ أُرَاهُ
Aku melihat Bilal beradzan dan memutar mulutnya ke sana dan ke sini serta kedua jarinya di telinganya. [HR Ahmad dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkannya di dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 230, hlm. 1/248].

Setelah menyampaikan hadits ini, Imam At Tirmidzi berkata: “Inilah yang diamalkan para ulama. Mereka mensunnahkan seorang muadzin memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya dalam adzan. Dan sebagian ulama menyatakan juga, di dalam iqamat memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya. Demikian ini pendapat Al ‘Auza’i”.[16]


5. Disunnahkan mengeraskan suara dalam adzan [17], berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :


فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala) sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat. [HR Al Bukhari].

HUKUM MENDENGAR DAN MENJAWAB ADZAN DAN IQAMAT

Para ulama terbagi dalam dua pendapat berbeda berkaitan dengan hukum mendengar dan menjawab adzan.

1. Hukumnya wajib.

Demikian ini pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Wahb. Dalil yang dibawakan ialah hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ الهِl صَلَّى الهُy عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin”. (Muttafaqun ‘alaihi) [18].

Dalam hadits ini terdapat perintah menjawab adzan, dan perintah, pada asalnya menunjukkan wajib.


2. Hukumnya sunnah.

Ini merupakan pendapat mayoritas ulama [19]. Mereka menyatakan, bahwa hadits Abu Sa’id di atas dipalingkan dari wajib menjadi sunnah dengan hadits ‘Aisyah yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ الهِa صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَتَشَهَّدُ قَالَ وَأَنَا وَأَنَا
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika mendengar muadzin membaca syahadat, maka Beliau berkata “dan aku dan aku”. [HR Abu Dawud].

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjawab adzan secara sempurna. Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik :


كَانَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُa عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ اْلأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلاَّ أَغَارَ فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ الهُع أَكْبَرُ الهَُ أَكْبَرُ فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُق عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْفِطْرَةِ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُل فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتَ مِنْ النَّارِ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerang (suatu kaum) ketika terbit fajar. Dan Beliau memperhatikan adzan. Apabila Beliau mendengar, maka Beliau menahan. Dan bila tidak (mendengar), maka Beliau menyerang. Lalu Rasulullah mendengar seseorang berkata: (الهُ أَكْبَرُ الهُُ أَكْبَرُ ), maka Beliau menjawab: “Di atas fithrah” (عَلَى الْفِطْرَةِ ), kemudian ia (seseorang itu) mengatakan:
(أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُا أَشْهَدُ ) dan Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Engkau telah keluar dari neraka”. [HR Muslim].

Dalam menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar menyatakan, ada sebagian riwayat berkaitan dengan hadits ini yang menunjukkakan, bahwa hal ini terjadi ketika waktu akan shalat [20]. Hal ini juga didukung oleh amalan kaum mualimin pada zaman Umar, sebagaimana disampaikan Tsa’labah bin Abi Malik :


كَانُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَ عُمَرُ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ عُمَرُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ
Mereka dahulu berbincang-bincang pada hari Jum’at dan Umar duduk di atas mimbar. Jika muadzin selesai adzan, maka Umar bangun dan tak seorangpun berbicara. [HR Asy Syafi’i dalam Al Um, dan dishahihkan An Nawawi, sebagaimana dijelaskan Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 339].

Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih, sebagai berikut:


أَدْرَكْتُ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فَكَانَ الإِمَامُ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ تَرَكْنَا الصَّلاَةَ فَإِذَا تَكَلَّمنَا تَرَكْنَا الْكَلاَمَ
Aku menjumpai Umar dan Utsman; jika seorang imam keluar (menuju masjid), maka kami meninggalkan shalat, dan bila berbicara (berkhutbah), maka kami meninggalkan perbincangan. [HR Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 340].

Pendapat ini yang dirajihkan Syaikh Al Albani [21] dan Syaikh Masyhur Salman.


Syaikh Al Albani mengatakan: Dalam atsar ini, terdapat dalil yang menunjukkan tidak wajibnya menjawab (seruan) muadzin, karena pada zaman Umar terjadi amalan berbincang-bincang ketika adzan, dan Umar diam. Saya banyak ditanya tentang dalil yang memalingkan perintah yang menunjukkan kewajiban menjawab adzan. Maka saya menjawab dengan atsar ini. Demikian juga iqamat, dalam hal ini sama hukumnya dengan adzan, sebagaimana dinyatakan Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, dalam pernyataan mereka yang berbunyi “termasuk sunnah seorang yang mendengar iqamat menjawab seperti ucapan muqim (orang yang beriqamah); karena iqamat merupakan adzan kedua, sehingga dijawab seperti dijawabnya adzan [22]. Wallahu a’lam.


MENJAWAB ADZAN DALAM KEADAAN SHALAT

Berdasarkan hukum di atas, maka muncullah permasalahan lainnya, yaitu bagaimana hukum seseorang yang sedang shalat mendengar adzan, apakah perlu menjawab ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat ulama:

1. Wajib menjawab adzan walaupun dalam shalat, kecuali ucapan hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain). Demikian pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Hazm.


Ibnu Hazm berkata: “Barangsiapa mendengar muadzin, maka jawablah sebagaimana yang diucapkan muadzin sama persis dari awal adzan sampai akhirnya. Baik ia berada di luar shalat atau di dalam shalat. Baik shalat wajib ataupun sunnah. Kecuali hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), maka tidak diucapkan dalam shalat, dan diucapkan di luar shalat”.

Dalilnya ialah hadits Abdullah bin Amru dan Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ الهِi صَلَّى الهُu عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin. [Muttafaqun ‘alaihi].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mengkhusukan hal itu dalam shalat atau di luar. Sedangkan hai’latain merupakan ucapan manusia yang mengajak kepada shalat. Adzan seluruhnya adalah dzikir, dan shalat adalah tempat berdzikir”.[23]


2. Tidak menjawab adzan bila dalam keadaan shalat.

Demikian ini pendapat mayoritas ulama (jumhur), dengan berdalil hadits Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:

كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الهُ) عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً
Kami, dahulu memberikan salam kepada Nabi n dalam keadan Beliau shalat dan Beliau membalasnya. Ketika kami kembali dari negeri Najasi, kami memberi salam kepada Beliau dan (Beliau) tidak menjawab salam kami dan berkata: “Sesungguhnya dalam shalat adalah satu kesibukan”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Hadits ini, menurut jumhur menunjukkan makruhnya menjawab salam yang hukumnya wajib, lalu bagaimana dengan adzan yang hukum menjawabnya saja sunnah? Terlebih lagi dalam shalat, seseorang sedang sibuk bermunajah kepada Allah, sehingga menjawab adzan dapat merusak kekhususan tersebut.


3. Menjawab adzan pada shalat sunnah dan tidak menjawab dalam shalat fardhu.

Demikian salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah.

Adapun menurut penulis, dalam hal ini cenderung menguatkan pendapat jumhur, berdasarkan sunnahnya menjawab adzan yang telah dikemukan di atas. Wallahu a’lam.


DISYARIATKAN MEMBACA SHALAWAT DAN DOA SETELAH ADZAN

Sebagaimana telah diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ الهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى الهُd عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى الهُي عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا الهَو لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ الهِر وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian mendengar muadzin, maka jawablah seperti apa yang ia katakan, kemudian bershalawatlah untukku, karena barangsiapa yang bershalawat untukku, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah kepada Allah untukku al wasilah, karena ia adalah satu kedudukan di surga yang tidak sepatutnya, kecuali untuk seorang hamba Allah; dan aku berharap, (bahwa) akulah ia. Barangsiapa yang memohonkan untukku al wasilah, maka akan mendapat syafaatku. [HR Muslim].

Permohonan wasilah ini dicontohkan dalam hadits Jabir yang berbunyi:


أَنَّ رَسُولَ الهِs صَلَّى الهُc عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang ketika (selesai) mendengar adzan berkata:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ
Maka mendapatkan syafaatku pada hari kiamat. [HR Al Bukhari].

Demikianlah sebagian hukum-hukum seputar adzan dan iqamat, yang penulis sampaikan secara ringkas. Mudah-mudahan bermanfaat.


Maraji`:

1. Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibnu Al Jarud, Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan Kedua, Tahun 1414H, Dar Al Kitab Al Arabi.
2. Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Tahqiq Dr. Sulaiman bin Abdillah Aba Khoil dan Dr. Kholid bin Ali Musyaiqih, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Muassasah Aasaam, KSA.
3. Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam An Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan tahun 1415H, Daar Ihya At Turats Al ‘Arabi, Beirut.
4. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Al Hafizh Ibnu Hajar, Maktabah As Salafiyah.
5. Nail Al Authar Min Al Ahadits Sayyid Al Akhyar Syarhu Muntaqa Al Akhbar, Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 035Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_______
Footnote
[1]. Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam An Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan tahun 1415H, Dar Ihya` At Turats Al ‘Arabi, Beirut, 3/83.
[2]. HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Adzan, Bab Bad’u Al Adzan, no. 604; Muslim, kitab Al Masajid, Bab Man Ahaqqu Bil Imamah, no. 674.
[3]. Nail Al Authar Min Al Ahadits Sayyid Al Akhyar Syarhu Muntaqa Al Akhbar, Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, hlm. 2/32.
[4]. Lihat Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Op.Cit., hlm. 2/78.
[5]. HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Adzan
[6]. Ahmad, no. 20719.
[7]. Syarhu Al Mumti’, Op.Cit., hlm. 2/37.
[8]. Tamamul Minnah Fi Ta’liq ‘Ala Fiqhi As Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan Ketiga, Tahun 1409 H, Dar Rayah, Riyadh, KSA, hlm. 144.
[9]. Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdurrahman bin Muhammad bin Al Qasim, tanpa tahun cetakan dan penerbit, hlm. 22/64.
[10]. Al Muhalla, Ibnu Hazm, Tahqiq Ahmad Syakir, Maktabah Dar At Turats, Kairo, hlm. 3/125.
[11]. Dinukil Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, Op.Cit., 2/82.
[12]. Lihat Al Majmu’, Op.Cit., 3/114.
[13]. Irwa’ Al Ghalil, Op.Cit., 1/250 dan lihat haditsnya pada hadits no. 246 di dalam Irwa’, 1/264-265.
[14]. Al Mughni, Op.Cit., 2/83.
[15]. Al Majmu’, Op.Cit., hlm. 3/115.
[16]. Jami’ At Tirmidzi (Sunan At Tirmidzi), Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 1/377.
[17]. Al Mughni, Op.Cit., 2/72.
[18]. Lihat Al Muhalla, Op.Cit., 3/148.
[19]. Lihat Al Majmu’, Op.Cit., 3/127.
[20]. Fathul Bari, Op.Cit., 2/93.
[21]. Tamamul Minnah, Op.Cit., hlm. 340.
[22]. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta`, disusun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazaq Ad Duwais, Cetakan Pertama, Tahun 1416H, hlm. 6/89 dan 90.
[23]. Lihat Al Muhalla, Op.Cit., hlm. 3/147


Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3081/slash/0
READ MORE - Adzan Dan Iqamah (2)

Tanda-Tanda Kecil Kiamat (2)

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT
 
 

Oleh

Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


5. LENYAPNYA ORANG-ORANG SHALIH

Di antara tanda-tanda Kiamat adalah lenyapnya orang-orang shalih, sedikitnya orang-orang pilihan, dan banyaknya kejahatan sehingga yang ada hanyalah seburuk-buruknya manusia, kepada merekalah Kiamat akan datang.

Dijelaskan dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَأْخُذَ اللهُ شَرِيطَتَهُ مِنْ أَهْلِ اْلأَرْضِ فَيَبْقَى فِيهَا عَجَاجَةٌ لاَ يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا.
‘Tidak akan tiba hari Kiamat hingga Allah mengambil orang-orang baik dari penduduk bumi, sehingga yang tersisa hanyalah orang-orang yang jelek, mereka tidak mengetahui yang baik dan tidak mengingkari yang munkar.’”[1]

Maknanya bahwa Allah akan mewafatkan orang-orang baik dan para ulama, lalu yang tersisa hanyalah orang-orang jelek yang tidak ada kebaikan di dalam diri mereka. Hal ini terjadi ketika ilmu diambil sementara manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin yang memberikan fatwa tanpa ilmu.


Dan diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:


يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُغَرْبَلُونَ فِيهِ غَرْبَلَةً يَبْقَى مِنْهُمْ حُثَالَةٌ قَدْ مَرِجَتْ عُهُودُهُمْ وَأَمَانَاتُهُمْ وَاخْتَلَفُوا فَكَانُوا هَكَذَا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ.
“Akan datang pada manusia suatu zaman di mana mereka akan dipilih,
hingga yang tersisa dari mereka hanyalah orang-orang yang hina, perjanjian-perjanjian dan amanah mereka telah bercampur (tidak menentu), dan mereka berselisih, maka mereka seperti ini.” Beliau merenggangkan jari-jemarinya (menunjukkan keadaan mereka yang saling bermusuhan-ed.).”[2]

Lenyapnya orang-orang shalih terjadi ketika banyaknya kemaksiatan, dan ketika amar ma’ruf nahi munkar ditinggalkan. Karena, jika orang-orang shalih melihat kemunkaran, lalu mereka tidak merubahnya dan kerusakan semakin banyak, maka siksaan akan turun kepada mereka semua, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya:


أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ: نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ.
“Apakah kami akan binasa sementara orang-orang shalih masih ada di antara kami?” Beliau menjawab, “Betul, ketika kemaksiatan merajalela.” [HR, Al-Bukhari][3]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

_______
Footnote
[1]. Musnad Ahmad (XI/181-182), syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
Dan Mustadrak al-Hakim (IV/435), al-Hakim berkata, “Ini adalah hadits shahih dengan syarat asy-Syaikhani, jika al-Hasan mendengarkannya dari ‘Abdullah bin ‘Amr.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[2]. Musnad Ahmad (XII/12), syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Isnadnya shahih.”
Dan Mustadrak al-Hakim (IV/435), al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini shahih akan tetapi kedua-nya (al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[3]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Qaulin Nabiyyi J Wailun lil ‘Arab min Syarrin Qadiqtaraba (XIII/11, al-Fat-h).


6.ORANG-ORANG HINA DIANGKAT SEBAGAI PEMIMPIN

Di antara tanda-tandanya adalah orang-orang hina diangkat sebagai pemimpin dan lebih mempercayakan mereka melebihi orang-orang terbaik mereka. Sehingga segala urusan masyarakat berada di tangan orang-orang bodoh dan hina yang tidak ada kebaikan di dalam diri mereka. Ini adalah keterbalikan fakta dan berubahnya keadaan. Dan ini yang terjadi dan dapat kita saksikan di zaman ini. Anda bisa melihat bahwa kebanyakan pemimpin masyarakat juga dewan pertimbangan mereka adalah orang yang sangat rendah keshalihan dan keilmuannya. Padahal, semestinya orang-orang yang beragama dan bertakwalah yang lebih diutamakan dari selain mereka dalam menang-gung urusan masyarakat. Karena manusia yang paling mulia adalah orang-orang yang memiliki agama dan ketakwaan, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“... Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu...” [Al-Hujuraat: 13]

Karena itulah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mempercayakan berbagai wilayah dan urusan manusia hanya kepada orang yang paling shalih dan paling berilmu. Demikian pula yang dilakukan para khalifah sepeninggal beliau. Contoh-contoh dalam masalah ini sangat banyak, di antaranya apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada penduduk Najran:


َلأَبْعَثَنَّ إِلَيْكُمْ رَجُلاً أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ، فَاسْتَشْـرَفَ لَهُ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ.


“Sungguh aku akan mengutus kepada kalian seorang yang benar-benar terpercaya,” lalu para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperhatikannya, lalu beliau mengutus Abu ‘Ubaidah.[1]


Berikut ini sebagian hadits yang menunjukkan diangkatnya orang-orang hina sebagai pemimpin, dan hal itu merupakan tanda-tanda Kiamat.


Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّهَا سَتَأْتِي عَلَى النَّاسِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا اْلأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ، قِيلَ: وَمَـا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ.
“Sesungguhnya akan datang pada manusia tahun-tahun yang penuh dengan tipuan, seorang pembohong dibenarkan dan seorang yang jujur dianggap berbohong, seorang pengkhianat dipercaya dan seseorang yang dipercaya dianggap khianat, dan saat itu Ruwaibidhah [2] akan berbicara.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah Ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Ia adalah orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak (umat).” [3]

Dan di dalam hadits Jibril yang panjang diungkapkan:


وَلَكِنْ سَأُحَدِّثُكَ عَنْ أَشْـرَاطِهَا... وَإِذَا كَانَتِ الْعُرُاةُ الْحُفَاةُ رُؤُوْسَ النَّاسِ، فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا.
“Akan tetapi akan aku kabarkan kepadamu tanda-tandanya... yaitu jika orang yang telanjang tanpa alas kaki menjadi pemimpin manusia, maka itulah di antara tanda-tandanya.” [4]

Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يَغْلِبَ عَلَى الدُّنْيَا لُكَعُ ابْنُ لُكَعٍ فَخَيْرُ النَّاسِ يَوْمَئِذٍ مُؤْمِنٌ بَيْنَ كَرِيْمَيْنِ.
‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah orang-orang bodoh menguasai dunia, maka manusia yang paling baik ketika itu adalah seorang mukmin di antara dua orang mulia.’”[5]

Dijelaskan dalam sebuah hadits shahih:


إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
“Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat.” [6]

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata:


مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ... أَنْ يَعْلُوَ التُّحُوْتُ الْوَعُوْلَ، أَكَذَلِكَ يَا عَبْدَ اللهِ بْـنِ مَسْعُوْدٍ سَمِعْتَهُ مِنْ نَبِيٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَرَبِّ الْكَعْبَةِ. قُلْنَـا: وَمَا التُّحُوْتُ؟ قَالَ: فُسُـوْلُ الرِّجَالِ، وَأَهْلُ الْبَيْتِ الْغَامِضَةِ يُرْفَعُوْنَ فَوْقَ صَالِحِيْهِمْ. وَالْوَعُوْلُ: أَهْلُ الْبَيْتِ الصَّالِحَة.ُ
“Di antara tanda-tanda Kiamat... at-Tuhuut ada di atas al-Wa-’uul”, apakah demikian kamu mendengarnya diri Nabi wahai ‘Abdullah bin Mas’ud?” Beliau menjawab, “Betul, demi Rabb Ka’bah,” kami bertanya, “Apakah at-Tuhuut itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang hina, dan orang dusun yang diangkat di atas orang-orang shalih, sementara al-Wa’uul adalah penghuni rumah yang shalih.” [7]

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى تَصِيرَ لِلُكَعِ ابْنِ لُكَعٍ.
“Tidak akan lenyap dunia sehingga orang-orang pandir menguasainya.” [8]

Maknanya adalah sehingga kenikmatan, kelezatan, dan kehormatan mengarah kepadanya.[9]


Dan dalam riwayat Imam Ahmad dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكُونَ أَسْعَدَ النَّاسِ بِالدُّنْيَا لُكَعُ ابْنُ لُكَعٍ.
“Tidak akan datang hari Kiamat hingga manusia yang paling berbahagia dengan dunia adalah orang-orang pandir.” [10]

Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu yang beliau riwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hilangnya amanah:


حَتَّى يُقَالَ لِلرَّجُلِ: مَا أَجْلَدَهُ! مَا أَظْرَفَهُ! مَا أَعْقَلَهُ! وَمَا فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ.
“Sehingga dikatakan kepada seseorang, ‘Sungguh kuat! Sungguh cerdas! Dan sungguh cerdik!’ Sementara tidak ada keimanan seberat biji sawi pun.” [11]

Inilah kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin pada zaman sekarang ini. Mereka berkata kepada seseorang, “Sungguh cerdas! Sungguh baik akhlaknya!” mereka mensifati dengan sifat-sifat yang paling indah, padahal mereka adalah manusia paling fasik, paling sedikit agama juga amanahnya. Bisa jadi sebenarnya dia musuh bagi kaum muslimin dan selalu berusaha untuk menghancurkan Islam. Tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung.


[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab Akhbaarul Aahaad, bab Maa Jaa-a fii Ijaazati Khabaril Waahidish Shadiq (XIII/232, dalam al-Fat-h).
[2]. الرُّوَيْبِضَةُ diungkapkan tafsirannya di dalam matan hadits, yaitu orang bodoh. Dan الرُّوَيْبِضَةُ bentuk tashgiir dari kata (اَلرَّابِضَةُ), ia adalah orang-orang lemah yang diam tidak bisa melakukan hal-hal mulia, duduk tidak mencarinya dan orang yang hina tidak ada artinya.
Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (II/185).
[3]. Musnad Imam Ahmad (XV/37-38), syarh dan ta’liq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya hasan, dan matannya shahih.”
Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah sanad yang jayyid, dan mereka tidak meriwayatkannya dari jalan ini.” (An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/181). Tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/163, Syarh an-Nawawi).
[5]. Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dengan dua sanad, dan para perawi salah satu dari keduanya tsiqah.” Majma’uz Zawaa-id (VII/325).
[6]. Shahiihul Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Raf’ul Amaanah (XI/332, al-Fat-h).
[7]. Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dengan dua sanad, dan perawi salah satunya adalah tsiqah.” (Majma’uz Zawaa-id VII/325)
[8]. Musnad Imam Ahmad (XVI/284, syarah dan tahqiq Ahmad Syakir), beliau berkata, “Diriwayatkan oleh as-Suyuthi dalam al-Jaami’ush Shaghiir dan beliau memberikan lambang bahwa hadits tersebut hasan.” Al-Jaami’ush Shaghiir (II/200, dengan catatan pinggir Kunuuzul Haqaa-iq, karya al-Manawi).
Al-Haitsami berkata, “Perawi Ahmad adalah perawi ash-Shahiih, selain Kamil bin al-‘Ala, dia adalah tsiqah.” Majma’uz Zawaa-id (VII/220).
Ibnu Katsir berkata, “Sanadnya jayyid dan kuat.” An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/181) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (VI/142) (no. 7149).
[9]. Lihat kitab Faidhul Qadiir Syarh al-Jaami’ish Shagiir (V/394), karya ‘Abdurrauf al-Manawi.
[10]. Musnad Imam Ahmad (V/389, Muntakhab Kanzul ‘Ummal), as-Suyuthi memberikan tanda dalam kitab al-Jaami’ush Shaghiir bahwa hadits tersebut shahih (II/202, Kunuuzul Haqaa-iq, karya al-Manawi).
Al-Albani berkata, “Shahih.” Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (VI/177) (no. 7308).
[11]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Raf’ul Amaanah (XI/333, al-Fat-h), Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Raf’ul Amaanah wal Iimaan min ba’dil Quluub (II/167-170, Syarh an-Nawawi).


7. UCAPAN SALAM HANYA DITUJUKAN KEPADA ORANG YANG DIKENAL

Dan di antara tanda-tanda Kiamat adalah seseorang hanya mengucapkan salam kepada orang yang dikenalnya. Dijelaskan di dalam sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُسَلِّمَ الرَّجُلُ عَلَى الرَّجُلِ لاَ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ لِلْمَعْرِفَةِ.
‘Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat adalah seseorang mengucap-kan salam kepada yang lainnya, dia mengucapkan salam kepadanya hanya dengan sebab kenal.” [HR. Ahmad][1]

Dalam riwayat beliau pula:


إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ تَسْلِيمَ الْخَاصَّةِ.
“Sesungguhnya menjelang hari Kiamat akan ada pengucapan salam kepada orang-orang tertentu.”[2]

Hal ini dapat kita saksikan sekarang. Banyak orang yang mengucapkan salam hanya kepada orang yang mereka kenal. Tentu saja hal ini bertentangan dengan Sunnah, padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong untuk mengucapkan salam kepada orang yang Anda kenal atau tidak Anda kenal. Sesungguhnya hal itu merupakan sebab tersebarnya kecintaan di antara kaum muslimin yang pada akhirnya sebagai sebab keimanan yang dapat mengantarkannya ke Surga. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ.
‘Kalian tidak akan masuk Surga hingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman (dengan sempurna) hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian melakukannya, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.’” [HR. Muslim][3]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

_______
Footnote
[1]. Musnad Ahmad (V/326), Ahmad Syakir berkata, “Isnadnya shahih.”
[2]. Musnad Ahmad (V/333), Ahmad Syakir berkata, “Isnadnya shahih.”
Al-Albani berkata, “Sanad ini shahih dengan syarat Muslim.” Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (II/251) (no. 647).
[3]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaan Annahu la Yadkhulul Jannata Illal Mukminun (II/35, Syarh Muslim). 


Sumber :  http://almanhaj.or.id/content/3171/slash/0
READ MORE - Tanda-Tanda Kecil Kiamat (2)

Tanda-Tanda Kecil Kiamat (1)

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT



Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


1. BANYAKNYA KARYA TULIS DAN PENYEBARANNYA

Dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ... ظُهُورَ الْقَلَمِ.
“Sesungguhnya menjelang datangnya Kiamat… bermunculannya pena (qalam).” [1]

Yang dimaksud dengan bermunculannya qalam -wallaahu a’lam- adalah bermunculannya karya tulis [2] dan penyebarannya.


Dijelaskan dalam riwayat ath-Thayalisi dan an-Nasa-i dari ‘Amr bin Taghlib, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ... أَنْ يَكْثُرَ التُّجَّارُ وَيَظْهَرَ الْعِلْمُ.
‘Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat… ‘ banyaknya para pedagang dan merebaknya ilmu.” [3]

Maknanya -wallaahu a’lam- munculnya berbagai media ilmu, yaitu buku.

Di zaman sekarang ini, hal itu telah berkembang dengan sangat pesat, dan menyebar di berbagai belahan bumi karena banyaknya alat-alat percetakan dan foto copy yang memudahkan penyebarannya. Walaupun demikian, kebodohan tetap saja menyebar di kalangan manusia, sedikitnya ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang bersumber dari al-Qur-an dan as-Sunnah dan pengamalan keduanya. Jadi, banyaknya buku sama sekali tidak bermanfaat bagi mereka.” [4]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

_______
Footnote
[1]. Musnad Ahmad (V/333-334) (no. 3870), syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
[2]. Lihat Syarh Musnad Ahmad (V/334), karya Ahmad Syakir.
[3]. Minhatul Ma’buud fi Tartiibi Musnad ath-Thayalisi (II/112), tartib as-Sa’ati, dan Sunan an-Nasa-i, kitab al-Buyuu’, bab at-Tijaarah (VII/244).
At-Tuwaijiri berkata mengomentari riwayat an-Nasa-i, “Isnadnya shahih dengan syarat asy-Syaikhani.” Ithaaful Jamaa’ah (I/428).
[4]. Lihat Ithaaful Jamaa’ah (I/428).


2. LALAI DALAM MELAKSANAKAN IBADAH-IBADAH SUNNAH YANG SANGAT DIANJURKAN OLEH ISLAM

Di antaranya adalah lalai dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَمُرَّ الرَّجُلُ بِالْمَسْجِدِ، لاَ يُصَلِّي فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ.
‘Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat adalah seseorang melintas di dalam masjid, dia tidak melakukan shalat dua raka’at di dalamnya.’” [1]

Dan dalam satu riwayat:


أَنْ يَجْتَازَ الرَّجُلُ بِالْمَسْجِدِ، فَلاَ يُصَلِّي فِيْهِ.
“Seseorang melintas di dalam masjid, lalu dia tidak melakukan shalat di dalamnya.” [2]

Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata:


إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُتَّخَذَ الْمَسَاجِدُ طُرُقًا.
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat adalah masjid-masjid dijadikan sebagai jalan-jalan.” [3]

Dan diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata:


إِنَّ مِنْ أَمَارَاتِ السَّاعَةِ أَنْ تُتَّخَذَ الْمَسَاجِدُ طُرُقًا.
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat adalah masjid-masjid dijadikan sebagai jalan-jalan.” [4]

Perkara ini tidak boleh dilakukan, karena mengagungkan masjid termasuk mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah [5] (شَعَائِرُ الله) dan termasuk tanda keimanan juga ketakwaan, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala:


وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
“... Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [Al-Hajj: 32]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ.
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk hingga melakukan shalat dua raka’at.” [6]

Di antara bencana paling besar adalah dijadikannya masjid sebagai tempat wisata bagi kaum kuffar, padahal sebelumnya ia adalah tempat untuk berdzikir dan beribadah, dan hal ini terjadi pada masa sekarang ini, sebagaimana terjadi di sebagian negeri Islam, juga negeri yang berada di bawah kekuasaan orang-orang kafir. Laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhim.


[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

_______
Footnote
[1]. Shahiih Ibni Khuzaimah, bab Karaahiyatul Muruur fil Masaajid min Ghairi an Tushalla fiihaa, wal Bayaan annahu min Asyraatis Saa’ah (II/283-284) tahqiq Dr. Muhammad Mushthafa al-A’zhami, cet. al-Maktab al-Islaami, cet. I, th. 1391 H.
Al-Albani mengomentarinya, beliau berkata, “Isnadnya dha’if, akan tetapi baginya atau kebanyakannya memiliki jalan-jalan yang lain.”
Dan diungkapkan dalam kitab as-Silsilah ash-Shahiihah bahwa hadits tersebut memiliki jalan lain dari riwayat Ibnu Mas’ud yang memperkuatnya, lihat (II/253, no. 649).
[2]. HR. Al-Bazzar, dan al-Haitsami menshahihkan riwayat ini dalam Majma’uz Zawaa-id (VII/329).
[3]. Minhatul Ma’buud fi Tartiibi Musnad ath-Thayalisi (II/112), bab Ma Jaa-a fil Fitanillati Takuunu Baini Yadayis Saa’ah (II/212), tartib as-Sa’ati, dan Mustadrak al-Hakim (IV/ 446), beliau berkata, “Hadits ini shahih sanadnya.” Adz-Dzahabi berkata, “Mauquf.”
[4]. Ibid.
[5]. (شَعَائِرُ الله) adalah bentuk jamak dari kata (شَعِيْرَةٌ) maknanya adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai tanda dari tanda-tanda ketaatan kepada Allah. Lihat Tafsiir Ghariibil Qur-aan (hal. 32), karya Ibnu Qutaibah, dengan tahqiq as-Sayyid Ahmad Shaqr, cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut th. 1398 H.
[6]. Shahiih Muslim, kitab Shalaatul Musaafiriin wa Qashruha, bab Istihbaabu Tahiyyatil Masjiid bi Rak’ataini, wa Karaahiyatil Juluus Qabla Shalaatihima, wa Annaha Masyruu’atun fi Jamii’il Auqaat (V/225-226, Syarh an-Nawawi).


3. MEMBESARNYA BULAN SABIT

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنِ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ انْتِفَاخُ اْلأَهِلَّةِ.
‘Di antara tanda telah dekatnya Kiamat adalah membesarnya bulan sabit.’”[1]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


مِنِ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ انْتِفَاخُ اْلأَهِلَّةِ، وَأَنْ يُـرَى الْهِلاَلُ لِلَّيْلَةِ، فَيُقَالُ: لِلَّيْلَتَيْنِ.
‘Di antara tanda telah dekatnya Kiamat adalah membesarnya bulan sabit. Bulan sabit[2] (yang sebelumnya) dilihat untuk satu malam, lalu dikatakan ‘untuk dua malam.’” [3]

Dan diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu secara marfu’ kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:


إِنَّ مِنْ أَمَارَاتِ السَّاعَةِ أَنْ يُرَى الْهِلاَلُ لِلَّيْلَةِ، فَيُقَالُ: لِلَّيْلَتَيْنِ.
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat adalah bulan sabit yang (sebelumnya) terlihat untuk satu malam, lalu dikatakan ‘untuk dua malam.’” [4]

Dalam dua riwayat ini disebutkan penafsiran membesarnya bulan sabit, hal tersebut sebagai ungkapan membesarnya bulan ketika muncul seperti biasanya pada awal bulan, bulan sabit yang muncul pada tanggal satu seperti bulan sabit yang muncul untuk tanggal dua, wallaahu a’lam.


[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

_______
Footnote
[1]. HR. Ath-Thabrani dalam al-Kabiir.
Al-Haitsami berkata, “Di dalam sanadnya ada ‘Abdurrahman bin Yusuf, beliau menyebutkannya dalam al-Mizaan untuk hadits ini, dan berkata, ‘Dia adalah majhul” (Majma’uz Zawaa-id III/146).
Lihat Miizaanul I’tidaal (II/600), karya adz-Dzahabi.
Al-Albani berkata, “Shahih.”
Kemudian beliau menyebutkan para imam yang meriwayatkannya, mereka adalah, “al-‘Uqaili dalam ad-Dhu’afaa’, Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil, dan ath-Thabrani dalam al-Ausath dan ash-Shaghiir.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dan ad-Dhiya al-Maqdisi.
Diriwayatkan dari Anas oleh al-Bukhari dalam at-Taariikh.
Diriwayatkan dari Thalhah bin Abi Hadrad dan Abu ‘Amr ad-Dani asy-Sya’bi dan al-Hasan secara Mursal.
Lihat Shahiih al-Jaami’ish-Shaghiir (V/213-214) (no. 5774).
[2]. Dalam riwayat Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (V/214) berbunyi: “وَأَنْ يُرَى الْهِلاَلُ قِبَلاً لِلَّيْلَةِ (Bulan sabit bisa dilihat dengan jelas untuk satu malam),” artinya, dilihat di saat munculnya. Kata qibalan artinya, dengan jelas. Lihat juga kitab at-Tadzkirah, halaman 648, karya Imam Qurthubi.
[3]. HR. Ath-Thabrani dalam ash-Shagiir.
Al-Haitsami berkata, “Di dalamnya ada ‘Abdurrahman bin al-Arzaq al-Anthali, dan saya tidak mendapatkan orang yang mengungkapkan biografi beliau.” Majma’uz Zawaa-id (III/146).
[4]. Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam ash-Shagiir, dan al-Ausath dari guru beliau al-Haitsam bin Khalid al-Mashishi, dan beliau dha’if.” Majma’uz Zawaa-id (VII/325).
Al-Albani berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan Dhiya' al-Maqdisi, hadits tersebut hasan.” Lihat kitab Shahiihul Jaami’ (V/214) (no. 5775).


4. BANYAKNYA KEDUSTAAN DAN TIDAK ADANYA TATSABBUT (MENCARI KEPASTIAN) DALAM MENUKIL BERITA

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda:

سَيَكُونُ فِـي آخِرِ أُمَّتِـي أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ.
“Akan ada sekelompok manusia di akhir umatku yang akan berbicara kepada kalian dengan sesuatu yang tidak pernah kalian dengar sebelumnya tidak pula oleh bapak-bapak kalian, maka berhati-hatilah kalian dan hindarilah mereka (agar tidak menimpakan fitnah kepada kalian).” [1]

Dalam satu riwayat:


يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ يَأْتُونَكُمْ مِنَ اْلأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ لاَ يُضِلُّونَكُمْ وَلاَ يَفْتِنُونَكُمْ.
“Pada akhir zaman akan ada para pembohong yang membawa berita kepada kalian dengan sesuatu yang tidak pernah kalian dengar, tidak juga pernah didengar oleh bapak-bapak kalian, maka hati-hatilah kalian dan hindarilah mereka agar tidak menyesatkan kalian juga tidak mendatangkan fitnah kepada kalian.” [2]

Muslim rahimahullah meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdah, dia berkata, “‘Abdullah [3] berkata:


إِنَّ الشَّيْطَانَ لِيَتَمَثَّلُ فِي صُورَةِ الرَّجُلِ فَيَأْتِي الْقَوْمَ فَيُحَدِّثُهُمْ بِالْحَدِيثِ مِنَ الْكَذِبِ فَيَتَفَرَّقُونَ فَيَقُولُ الرَّجُلُ مِنْهُمْ سَمِعْتُ رَجُلاً أَعْرِفُ وَجْهَهُ وَلاَ أَدْرِي مَا اسْمُهُ يُحَدِّثُ.
‘Sesungguhnya syaitan menjelma dalam rupa seseorang, lalu dia mendatangi suatu kaum dan menceritakan sebuah berita bohong, akhirnya mereka berselisih. Lalu seseorang dari mereka berkata, ‘Aku mendengar seseorang bercerita, ‘Aku mengetahui wajahnya akan tetapi tidak mengetahui namanya.’” [4]

Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:


إِنَّ فِـي الْبَحْرِ شَيَاطِينَ مَسْجُونَةً أَوْثَقَهَا سُلَيْمَانُ يُوشِكُ أَنْ تَخْرُجَ فَتَقْرَأَ عَلَى النَّاسِ قُرْآنًا.
“Sesungguhnya di dalam lautan ada syaitan-syaitan terpenjara yang diikat oleh Sulaiman, hampir saja mereka keluar, lalu membacakan al-Qur-an kepada manusia.” [5]

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Maknanya adalah membacakan sesuatu yang bukan al-Qur-an, akan tetapi mengatakan bahwa hal itu merupakan al-Qur-an untuk menipu orang awam dari kalangan manusia, maka hendaklah mereka tidak tertipu.” [6]


Betapa banyak pembicaraan aneh di zaman sekarang ini. Sebagian manusia tidak hati-hati lagi dengan banyak berbicara bohong dan menukil berita tanpa memastikan terlebih dahulu tentang kebenarannya, hal itu jelas menyesatkan manusia dan memfitnah mereka. Karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi peringatan agar tidak membenarkan mereka. Para ulama hadits telah menjadikan hadits-hadits ini sebagai landasan tatsabbut (melakukan klarifikasi) dalam menukil sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memeriksa para perawi agar diketahui yang terpercaya dari yang lainnya.

Dengan sebab banyaknya kebohongan manusia pada zaman sekarang ini, maka manusia tidak bisa membedakan berbagai berita, akhirnya dia tidak mengetahui antara berita yang benar dan tidak.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

_______
Footnote
[1]. Shahiih Muslim, al-Muqaddimah, bab an-Nahyu ‘anir Riwaayah ‘anidh Dhu’afaa’ (I/78, Syarh an-Nawawi).
[2]. Ibid (I/78-79, Syarh Shahiih Muslim lin Nawawi).
[3]. Beliau adalah ‘Abdullah bin Mas’ud z, orang yang meriwayatkan darinya adalah ‘Amir bin ‘Abduh al-Bajali al-Kufi, Abu ‘Iyas, seorang Tabi’in, tsiqah. Ibnu Hajar telah memberikan isyarat kepada riwayat ini dalam Tahdziibut Tahdziib (V/78-79), dan beliau menuturkan bahwa riwayat tersebut dari ‘Amir bin ‘Abduh bin ‘Abdillah bin Mas’ud.
[4]. Shahiih Muslim, al-Muqaddimah, (I/78, Syarh an-Nawawi).
[5]. Shahiih Muslim, al-Muqaddimah, bab an-Nahyu ‘anir Riwaayah ‘anidh Dhu’afaa’ (I/79, Syarh an-Nawawi).
[6]. Syarah an-Nawawi untuk Shahiih Muslim (I/80). 


Sumber :  http://almanhaj.or.id/content/980/slash/0
READ MORE - Tanda-Tanda Kecil Kiamat (1)

- popular posts -

- followers -