Ahmadiyah : Seperti Watak Yahudi
Diposting oleh
"A.A.W"
di
Kamis, Oktober 07, 2010
Kamis, 07 Oktober 2010
Label:
Umum
Tingkah laku yang disukai oleh Mirza Ghulam Ahmad dan
Ahmadiyahnya ialah mengubah makna maupun tujuan dari
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits dengan selera serta
kepentingan mereka. Seperti watak yang dimiliki kaum Yahudi,
yaitu yuharriful alkalimah an-mawadi’ih, maka begitulah
sikap dan kelakuan kaum Ahmadiyah ini.
Dalam suatu penjelasan atas sebuah hadits yang menerangkan
tentang kesudahan Nabi pada Nabi Muhammad, Ahmadiyah
menyatakan pendiriannya yang menarik. Lebih dahulu kita
ketahui isi hadits tersebut, yaitu:
“Misal aku dengan Nabi-nabi yang sebelum aku seperti
seorang laki-laki yang telah mendirikan sebuah gedung
yang indah tetapi ketinggalan satu bata dan mereka
bertanya mengapa tidak engkau pasang sebata yang
ketinggalan itu. Akulah bata itu dan aku juga kesudahan
Nabi-nabi.”1
Apabila Hadits tersebut dipakai oleh ulama-ulama dengan
mengkiaskan satu bata itu untuk menyatakan kenabian Muhammad
sebagai Nabi terakhir, maka menurut Ahmadiyah, itu adalah
satu penghinaan atas diri beliau. Adakah beliau hanya
seperti batu bata saja bagi sebuah gedung yang indah
bentuknya itu? Jika dimisalkan dengan tiang mungkin juga
diterima, tapi jika Nabi s.a.w. cuma sekedar batu bata saja,
sangat keterlaluan, padahal Nabi Muhammad s.a.w. lebih dari
Nabi-nabi yang lain bahkan dari Malaikat-malaikat
sekalipun.2
Akhirnya karena itu satu penghinaan pada Nabi Muhammad, maka
Ahmadiyah mengajukan satu pembelaan juga. Adapun yang
dimaksud dengan satu bata itu, kata Ahmadiyah, ialah
syari’at atau Agama. Syari’at yang telah diturunkan kepada
Nabi-nabi yang dahulu merupakan satu gedung yang masih
kurang (satu bata, bukan? pen.) maka dengan kedatangan Nabi
Muhammad s.a.w. sempurnalah gedung itu.3
Yang menarik dari penjelasan Ahmadiyah di atas ialah bahwa
satu bata itu jika dimisalkan Nabi Muhammad adalah satu
penghinaan. Yang benar, kata Ahmadiyah, bahwa satu bata itu
adalah syari’at atau Agama, yakni Agama Islam yang dibawa
Nabi Muhammad s.a.w. Coba bayangkan bahwa gedung yang indah
itu diibaratkan syari’at-syari’at Nabi-nabi yang sebelum
Nabi Muhammad. Kemudian karena masih ketinggalan satu bata
yaitu masih ada satu lobang bata pada gedung yang indah itu.
Maka syari’at Nabi Muhammadlah pengisi lobang sebata itu.
Apakah ini bukan penghinaan juga?!
Ataukah ada pengertian lain dari Ahmadiyah, bahwa setiap
batu-bata pada bangunan yang indah itu adalah syariat atau
agama nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Hal ini perlu kiranya
minta bantuan Ahmadiyah untuk menaksir berapa jumlah batu
bata yang terdapat pada gedung yang indah itu? Jelasnya
berapa puluh ribu syariat atau agama sebelum syariat/agama
Islam datang? Apa yang dikatakan Ahmadiyah itu adalah
nonsense, omong-kosong. Itu tidak lain satu penghinaan atas
diri Nabi dan atas syariat yang dibawa beliau.
Selanjutnya Ahmadiyah mengataKan bahwa hadits tersebut
adalah dha’if atau lemah dan para perawi dalam hadits itu
tidak dapat dijadikan ukuran dan pegangan.4 Pada akhirnya
Ahmadiyah mengatakan bahwa dalam hadits itu ada satu
keganjilan yang perlu dipikirkan disini. Kalau hadits itu
shahih dan Nabi kita s.a.w. sudah menyempurnakan gedung
indah dengan penutup lobang yang tadinya terbuka dengan
kedatangan beliau. Dalam gedung yang sudah demikian itu Nabi
Isa a.s. akan menjadi sebagai apanya? Kita berdasarkan
Qur’an dan Hadits masih menunggu kedatangan Nabi, dalam
hadits dikatakan nabi Isa akan datang.5 Terakhir Ahmadiyah
bertanya:
“Kalau kita ibaratkan Nabi Isa sebagai batu-bata pula
dalam rangka susunan Nabi-nabi, maka dimana batu-bata
ini akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada
lobangnya itu?”6
Sekali lagi ulasan Ahmadiyah di atas menarik untuk dibahas.
Untuk menjawab pertanyaan: dimana batu-bata Nabi Isa akan
ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya itu?
Ahmadiyah telah menjawab pertanyaan ini, akan tetapi dua
jawaban, dari mereka satu sama lain sudah tidak sama. Yang
pertama Ahmadiyah menjawab: “Hendaknya dikatakan, masih
tinggal dua batu bata lagi yaitu batu-bata nabi Muhammad
s.a.w. dan batu-bata nabi Isa a.s. yang akan turun di akhir
zaman.7 Jawaban mereka yang pertama ini jelas mengandung
satu penghinaan pada nabi Muhammad. Beliau s.a.w.
diibaratkan satu bata saja dan beliau disejajarkan dengan
satu bata lainnya yakni batanya nabi Isa a.s. akhir zaman
yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Kemudian pada jawaban yang kedua,
Ahmadiyah berkata: “Itulah sebabnya untuk menyempurnakan
syariat-syariat para nabi terdahulu itu datanglah nabi
Muhammad membawa syariat Al-Qur’an yang sempurna. Yang
sempurna itu tak memerlukan lagi perubahan apapun dalam
gedung indah itu. Tetapi untuk merawat, mengapur,
membersihkan dan menjaga gedung itu diperlukan seorang
petugas, dan untuk memelihara kebun dan halamannya
diperlukan tukang kebun yang diberi tugas oleh Tuhan.”8
Disini pada jawaban yang kedua, gedung indah itu sudah tidak
ada lobangnya lagi sebab sudah terisi dengan Nabi Muhammad.
Jadi yang ditanyakan oleh Ahmadiyah, dimana batu bata ini
akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya
lagi? Telah dijawab sendiri oleh mereka, sedang Nabi Isa itu
hanya tukang kapur, tukang sapu, tukang kebun dan tukang
rawat atas gedung indah itu. Apa tidak kurang kalau hanya
seorang tukang yang merangkap segala pekerJaan atas gedung
yang indah itu? Salah-salah Tukang itu (Mirza Ghulam Ahmad)
bisa kelabakan, letih dan sakit-sakitan, bukan begitu?
Memang ternyata demikian keadaan si tukang Mirza Ghulam itu.
Ia sakit-sakitan saja dan kelak kita akan mengetahui betapa
hebatnya sakitnya dan betapa pula effeknya terhadap tugasnya
itu.
Dengan jawaban yang pertama yaitu bahwa seharusnya ada dua
batu-bata pada gedung indah itu, dan pada jawaban yang
kedua, bahwa sudah tidak ada lobang untuk pengisian satu
bata iagi, sehingga Nabi Isa (Mirza Ghulam) bukan lagi satu
batu-bata melainkan hanya tukang kebun dan lain-lain itu, di
sinilah Ahmadiyah berbeda jawab satu dengan yang lainnya.
Lebih menarik lagi kalau kita terus memperhatikan ulasan
Ahmadiyah atas hadits tersebut di atas. Sebagaimana tersebut
Ahmadiyah menyatakan bahwa hadits itu adalah dha’if dan
dengan sendirinya tidak dapat dijadikan ukuran dan
pegangan.9 Kalau sudah dinyatakan dha’if buat apa dipakai
dan diperpanjang uraiannya bertele-tele?! Dha’if ya sudah,
tidak perlu lagi. Akan tetapi rupa-rupanya tidak demikian
yang diniatkan oleh Ahmadiyah. Sebab hadits itu masih
dipakainya dan kemungkinan untuk terlaksananya satu
pengisian batu-bata pada lobangnya masih diharapkan dan
dipastikan ada.
Untuk ini lebih tepat kalau kita mendengar langsung ucapan
yang disampaikan oleh Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Ia berkata
tentang hadits itu
“Adalah golongan Nabi-nabi yang diibaratkan satu gedung
itu kekurangan satu batu-bata, maka Allah akan cukupkan
dan sempurnakan gedung itu dengan satu bata yang akhir.
Maka akulah bata yang terakhir itu, hai orang yang
melihat!”10
Catatan kaki:
1 lih: A. Nuruddin, arti hakiki dari ayat
katamannabiyin, hal. 44
2 idem.
3 idem.
4 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54.
5 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54.
6 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 55.
7 lih: A. Nuruddin , khataman nabiyin , hal. 45.
8 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 55.
9 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54.
10 lih: Mirza Ghulam Ahmad, Khutbat-ul-Ilhamiyah, hal. 32:
(fa kaana khaliyan maudi’u labinatin, au’nil mun-amaq
alaihi min hadzihil imarah, fa aradha Allahu an
yutimma-nabaa’ wa yukmila-al-binaa bil labinati -
akhirah, fa-ana tilkal-labinatu ayyuhan – nadhiruun.)
Ahmadiyahnya ialah mengubah makna maupun tujuan dari
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits dengan selera serta
kepentingan mereka. Seperti watak yang dimiliki kaum Yahudi,
yaitu yuharriful alkalimah an-mawadi’ih, maka begitulah
sikap dan kelakuan kaum Ahmadiyah ini.
Dalam suatu penjelasan atas sebuah hadits yang menerangkan
tentang kesudahan Nabi pada Nabi Muhammad, Ahmadiyah
menyatakan pendiriannya yang menarik. Lebih dahulu kita
ketahui isi hadits tersebut, yaitu:
“Misal aku dengan Nabi-nabi yang sebelum aku seperti
seorang laki-laki yang telah mendirikan sebuah gedung
yang indah tetapi ketinggalan satu bata dan mereka
bertanya mengapa tidak engkau pasang sebata yang
ketinggalan itu. Akulah bata itu dan aku juga kesudahan
Nabi-nabi.”1
Apabila Hadits tersebut dipakai oleh ulama-ulama dengan
mengkiaskan satu bata itu untuk menyatakan kenabian Muhammad
sebagai Nabi terakhir, maka menurut Ahmadiyah, itu adalah
satu penghinaan atas diri beliau. Adakah beliau hanya
seperti batu bata saja bagi sebuah gedung yang indah
bentuknya itu? Jika dimisalkan dengan tiang mungkin juga
diterima, tapi jika Nabi s.a.w. cuma sekedar batu bata saja,
sangat keterlaluan, padahal Nabi Muhammad s.a.w. lebih dari
Nabi-nabi yang lain bahkan dari Malaikat-malaikat
sekalipun.2
Akhirnya karena itu satu penghinaan pada Nabi Muhammad, maka
Ahmadiyah mengajukan satu pembelaan juga. Adapun yang
dimaksud dengan satu bata itu, kata Ahmadiyah, ialah
syari’at atau Agama. Syari’at yang telah diturunkan kepada
Nabi-nabi yang dahulu merupakan satu gedung yang masih
kurang (satu bata, bukan? pen.) maka dengan kedatangan Nabi
Muhammad s.a.w. sempurnalah gedung itu.3
Yang menarik dari penjelasan Ahmadiyah di atas ialah bahwa
satu bata itu jika dimisalkan Nabi Muhammad adalah satu
penghinaan. Yang benar, kata Ahmadiyah, bahwa satu bata itu
adalah syari’at atau Agama, yakni Agama Islam yang dibawa
Nabi Muhammad s.a.w. Coba bayangkan bahwa gedung yang indah
itu diibaratkan syari’at-syari’at Nabi-nabi yang sebelum
Nabi Muhammad. Kemudian karena masih ketinggalan satu bata
yaitu masih ada satu lobang bata pada gedung yang indah itu.
Maka syari’at Nabi Muhammadlah pengisi lobang sebata itu.
Apakah ini bukan penghinaan juga?!
Ataukah ada pengertian lain dari Ahmadiyah, bahwa setiap
batu-bata pada bangunan yang indah itu adalah syariat atau
agama nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Hal ini perlu kiranya
minta bantuan Ahmadiyah untuk menaksir berapa jumlah batu
bata yang terdapat pada gedung yang indah itu? Jelasnya
berapa puluh ribu syariat atau agama sebelum syariat/agama
Islam datang? Apa yang dikatakan Ahmadiyah itu adalah
nonsense, omong-kosong. Itu tidak lain satu penghinaan atas
diri Nabi dan atas syariat yang dibawa beliau.
Selanjutnya Ahmadiyah mengataKan bahwa hadits tersebut
adalah dha’if atau lemah dan para perawi dalam hadits itu
tidak dapat dijadikan ukuran dan pegangan.4 Pada akhirnya
Ahmadiyah mengatakan bahwa dalam hadits itu ada satu
keganjilan yang perlu dipikirkan disini. Kalau hadits itu
shahih dan Nabi kita s.a.w. sudah menyempurnakan gedung
indah dengan penutup lobang yang tadinya terbuka dengan
kedatangan beliau. Dalam gedung yang sudah demikian itu Nabi
Isa a.s. akan menjadi sebagai apanya? Kita berdasarkan
Qur’an dan Hadits masih menunggu kedatangan Nabi, dalam
hadits dikatakan nabi Isa akan datang.5 Terakhir Ahmadiyah
bertanya:
“Kalau kita ibaratkan Nabi Isa sebagai batu-bata pula
dalam rangka susunan Nabi-nabi, maka dimana batu-bata
ini akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada
lobangnya itu?”6
Sekali lagi ulasan Ahmadiyah di atas menarik untuk dibahas.
Untuk menjawab pertanyaan: dimana batu-bata Nabi Isa akan
ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya itu?
Ahmadiyah telah menjawab pertanyaan ini, akan tetapi dua
jawaban, dari mereka satu sama lain sudah tidak sama. Yang
pertama Ahmadiyah menjawab: “Hendaknya dikatakan, masih
tinggal dua batu bata lagi yaitu batu-bata nabi Muhammad
s.a.w. dan batu-bata nabi Isa a.s. yang akan turun di akhir
zaman.7 Jawaban mereka yang pertama ini jelas mengandung
satu penghinaan pada nabi Muhammad. Beliau s.a.w.
diibaratkan satu bata saja dan beliau disejajarkan dengan
satu bata lainnya yakni batanya nabi Isa a.s. akhir zaman
yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Kemudian pada jawaban yang kedua,
Ahmadiyah berkata: “Itulah sebabnya untuk menyempurnakan
syariat-syariat para nabi terdahulu itu datanglah nabi
Muhammad membawa syariat Al-Qur’an yang sempurna. Yang
sempurna itu tak memerlukan lagi perubahan apapun dalam
gedung indah itu. Tetapi untuk merawat, mengapur,
membersihkan dan menjaga gedung itu diperlukan seorang
petugas, dan untuk memelihara kebun dan halamannya
diperlukan tukang kebun yang diberi tugas oleh Tuhan.”8
Disini pada jawaban yang kedua, gedung indah itu sudah tidak
ada lobangnya lagi sebab sudah terisi dengan Nabi Muhammad.
Jadi yang ditanyakan oleh Ahmadiyah, dimana batu bata ini
akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya
lagi? Telah dijawab sendiri oleh mereka, sedang Nabi Isa itu
hanya tukang kapur, tukang sapu, tukang kebun dan tukang
rawat atas gedung indah itu. Apa tidak kurang kalau hanya
seorang tukang yang merangkap segala pekerJaan atas gedung
yang indah itu? Salah-salah Tukang itu (Mirza Ghulam Ahmad)
bisa kelabakan, letih dan sakit-sakitan, bukan begitu?
Memang ternyata demikian keadaan si tukang Mirza Ghulam itu.
Ia sakit-sakitan saja dan kelak kita akan mengetahui betapa
hebatnya sakitnya dan betapa pula effeknya terhadap tugasnya
itu.
Dengan jawaban yang pertama yaitu bahwa seharusnya ada dua
batu-bata pada gedung indah itu, dan pada jawaban yang
kedua, bahwa sudah tidak ada lobang untuk pengisian satu
bata iagi, sehingga Nabi Isa (Mirza Ghulam) bukan lagi satu
batu-bata melainkan hanya tukang kebun dan lain-lain itu, di
sinilah Ahmadiyah berbeda jawab satu dengan yang lainnya.
Lebih menarik lagi kalau kita terus memperhatikan ulasan
Ahmadiyah atas hadits tersebut di atas. Sebagaimana tersebut
Ahmadiyah menyatakan bahwa hadits itu adalah dha’if dan
dengan sendirinya tidak dapat dijadikan ukuran dan
pegangan.9 Kalau sudah dinyatakan dha’if buat apa dipakai
dan diperpanjang uraiannya bertele-tele?! Dha’if ya sudah,
tidak perlu lagi. Akan tetapi rupa-rupanya tidak demikian
yang diniatkan oleh Ahmadiyah. Sebab hadits itu masih
dipakainya dan kemungkinan untuk terlaksananya satu
pengisian batu-bata pada lobangnya masih diharapkan dan
dipastikan ada.
Untuk ini lebih tepat kalau kita mendengar langsung ucapan
yang disampaikan oleh Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Ia berkata
tentang hadits itu
“Adalah golongan Nabi-nabi yang diibaratkan satu gedung
itu kekurangan satu batu-bata, maka Allah akan cukupkan
dan sempurnakan gedung itu dengan satu bata yang akhir.
Maka akulah bata yang terakhir itu, hai orang yang
melihat!”10
Catatan kaki:
1 lih: A. Nuruddin, arti hakiki dari ayat
katamannabiyin, hal. 44
2 idem.
3 idem.
4 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54.
5 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54.
6 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 55.
7 lih: A. Nuruddin , khataman nabiyin , hal. 45.
8 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 55.
9 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54.
10 lih: Mirza Ghulam Ahmad, Khutbat-ul-Ilhamiyah, hal. 32:
(fa kaana khaliyan maudi’u labinatin, au’nil mun-amaq
alaihi min hadzihil imarah, fa aradha Allahu an
yutimma-nabaa’ wa yukmila-al-binaa bil labinati -
akhirah, fa-ana tilkal-labinatu ayyuhan – nadhiruun.)
- popular posts -
-
Pembaca, Untaian nasihat Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baaz ini diangkat dari Majmu' Fatawa wa Maqalaatun Mutanawwi'ah ...
-
Oleh : Al Ust. Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi. A. Mengangkat Kedua Tangan pada Takbir-Takbir Shalat Jenazah Para ulama sepakat b...
-
Bismillah, Najis merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaannya harus diperhatikan khususnya oleh seorang m...
-
Oleh Ustadz Muslim Al Atsari Salaf, artinya adalah orang-orang terdahulu. Adapun yang dimaksud dengan Salafush Shalih, dalam isti...
-
Bismillah, Kita dapat mengaitkan secara ideologi, bahwa gerakan modernisme Islam yang sedang marak saat ini memiliki hubungan erat dengan se...
-
Oleh: asy-Syaikh ‘Abdullah bin Shalfiq azh-Zhafiri بسم الله الرحمن الرحيم Muqaddimah oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi الحمد ل...
-
Pertanyaan : Dalam islam, rukun Islam ada 5, rukun Iman ada 6, maka ini asalnya dari mana? Apa ini cuma karangan ulama saja kah? atau h...
-
Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi-Nya . Dalam postingan-postingan sebelumnya, kami te...
-
Pada saat sekarang ini banyak kaum muslimin yang selalu dihantui rasa was-was, sehingga setan dengan leluasa untuk menggodanya. Misalnya ...
-
Oleh Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi Tidak disangsikan lagi permasalahan ibadah merupakan inti ajaran Islam. Syari’at sangat memperh...
No response to “Ahmadiyah : Seperti Watak Yahudi”
Posting Komentar